CARIAN ILMU DI JOMFAHAM :

Ahad, 30 Jun 2019

Sejarah Bermulanya Kalendar Tahun Hijrah Islam

Sejarah Bermulanya Kalender Hijrah Islam


Share Button
Dalam literatur sejarah Islam, kalender Qamariyyah merupakan perhitungan milik bangsa Arab jauh sebelum Islam datang. Mereka jugalah yang menciptakan nama-nama 12 bulan Qamariyyah. meskipun dalam perjalanan panjangnya, kalender tersebut digunakan sebagai sarana kaum muslimin dalam menentukan puasa, miqat haji, hari raya dan hal-hal lain. Hanya saja, sebelum era kepemimpian Khalifah kedua, yaitu Saidina Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, penggunaan kalender Qamariyyah sebagai kalender Islam belum rasmi digunakan. Sejarah mencatat, kalender tersebut secara rasmi digunakan dimulai sejak era kepemimpinan beliau dan awal Muharram dijatuhkan pada kejadian bersejarah, yakni hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari Mekkah ke Madinah. Dengan demikian, di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam belum ada penanggalan secara rasmi yang digunakan sebagai kalender Islam, meskipun sebahagian sejarawan menyatakan sudah ada.
1476762_10201216862329647_2027166840_n
Latar belakang diciptakannya kalender Islam oleh Shahabat Umar bin Khaththab radhiyyallahu ‘anhu ada beberapa riwayat. Dan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari(VII/305) menuturkan tiga riwayat berbeda yang melatar belakangi diresmikannya kalender Islam.

Riwayat Pertama:

وَذَكَرُوا فِي سَبَبِ عَمَلِ عُمَرَ التَّارِيْخَ أَشْيَاءَ مِنْهَا مَا أَخْرَجَهُ أَبُو نُعَيْمٍ الفَضْلُ بنُ دَكِيْنَ فِي تَارِيْخِهِ وَمِنْ طَرِيْقِهِ الحَاكِمِ مِنْ طَرِيْقِ الشَّعْبِيّ أَنَّ أبَا مُوْسَى كَتَبَ إِلىَ عُمَرَ أَنَّهُ يَأْتِيْنَا مِنْكَ كُتُبٌ لَيْسَ لَهَا تَارِيْخٌ
“Ulama menyebutkan beberapa riwayat, dalam sebab Shahabat Umar membuat kalender. Sebahagian darinya adalah riwayat yang dikeluarkan Abu Nu’aim Fadhl bin Dakin dalam Tarikh-nya, dan dari jalur riwayatnya ada al-Hakim, dari asy-Sya’bi, bahwa Abu Musa al-Asy’ari menulis surat kepada Umar: “Sungguh datang beberapa surat Anda kepada saya tanpa ada tanggalnya”.

Riwayat pengiriman surat dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari ketika menjadi gabenor Bashrah Iraq kepada Khalifah Umar bin Khaththab inilah yang paling masyhur.

Riwayat Kedua:

رَوَى أَحْمَدُ وَأَبُو عَرُوْبَةَ فِي الأَوَائِلِ وَالبُخَارِيّ فِي الأَدَبِ والحَاكِمُ مِنْ طَرِيْقِ مَيْمُوْنَ بنِ مِهْرَانَ قَالَ رُفِعَ لِعُمَرَ صَكٌّ مَحِلُّهُ شَعْبَانُ فَقَالَ أَيُّ شَعْبَانٍ الماَضِي أوْ الَّذِي نَحْنُ فِيْهِ أَوِ الآتِي ضَعُوْا لِلنَّاسِ شَيْئًا يَعْرِفُوْنَهُ
“Imam Ahmad, Abu Arubah dalam al-Awail, al-Bukhari dalam al-Adab, dan al-Hakim meriwayatkan dari jalur Maimun bin Mihran (Mahran), ia berkata: “Dilaporkan kepada Umar sebuah yang diberi catatan yang jatuhnya bulan Sya’ban. Kemudian Umar berkata: “Sya’ban yang lalu atau Sya’ban sekarang ini, atau yang akan datang? Buatlah sesuatu untuk masyarakat supaya mengetahuinya”.

Riwayat Ketiga:

رَوَى ابْنُ أَبِي خَيْثَمَةَ مِنْ طَرِيْقِ ابْنِ سِيْرِيْنَ قَالَ قَدِمَ رَجُلٌ مِنَ اليَمَنِ فَقَالَ رَأَيْتُ بِالْيَمَنِ شَيْئًا يَسُمُّوْنَهُ التَّارِيْخِ يَكْتُبُوْنَهُ مِنْ عَامِ كَذَا وَشَهْرِ كَذَا فَقَالَ عُمَرُ هَذَا حَسَنٌ فَأَرِّخُوْا
“Ibnu Abi Khaitsamah dari jalur Ibni Sirin, ia berkata: “Seorang laki-laki datang dari Yaman, ia berkata: “Aku di Yaman melihat sesuatu yang mereka sebut tarikh, mereka menulisnya dari tahun ini, dan bulan ini”. Kemudian Umar berkata: “Ini bagus, buatlah kalender!”.
Kemudian menurut cerita yang masyhur, Umar bin Khaththab mengumpulkan shahabat Nabi untuk membahas permulaan tahun Qamariyyah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari (VII/305) menulis:

فَجَمَعَ عُمَرُ النَّاسَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ اَرِّخْ بِالمَبْعَثِ وَبَعْضُهُمْ اَرِّخْ بِالِهجْرَةِ فَقَالَ عُمَرُ الهِجْرَةُ فَرَّقَتْ بَيْنَ الحَقِّ وَالبَاطِلِ فَأَرِّخُوْا بِهَا وَذَلِكَ سَنَةُ سَبْعَ عَشَرَةَ
“Maka kemudian Umar mengumpulkan para shahabat, maka sebahagian dari mereka mengusulkan: “Buatlah kalender dengan mulai dari Rasulullah diangkat menjadi Nabi!”. Yang lain mengusulkan: “Buatlah kalender mulai hijrah!”. Maka Umar berkata: “Hijrah memisahkan antara yang haq dan yang batil, maka buatlah tanggal dengan hijrah”. Dan itu terjadi di tahun 17 hijriyyah”.

Dan setelah disepakati kapan mulai kalender, yaitu peristiwa hijrah, maka shahabat kembali bermusyawarah, bulan apa yang pertama kali dibuat permulaan tahun. Dalam hal ini, al-Hafizh Ibnu Hajar kembali menulis:

فَلَمَّا اتَّفَقُوا قَالَ بَعْضُهُمْ ابْدَءُوا بِرَمَضَانَ فَقَالَ عُمَرُ بَلْ بِالُمَحَرَّمِ فَإِنَّهُ مُنْصَرِفُ النَّاسِ مِنْ حَجِّهِمْ فَاتَّفَقُوا عَلَيْهِ
“Maka tatkala mereka bersepakat, maka sebahagian dari mereka mengusulkan: “Mulailah dengan bulan Ramadhan!”. Kemudian Umar berkata: “Bukan, seharusnya bulan Muharram, karena itu adalah bulan dimana para jama’ah haji pulang dari hajinya”. Kemudian mereka bersepakat”.

Al-Hafizh Abdurrauf al-Munawi dalam Faidh al-Qadir (I/134) menukil ucapan al-Hafizh Ibnul Jauzi yang menceritakan tentang sejarah kalender. Ia berkata: “Tatkala populasi keturunan Nabi Adam sudah mulai banyak, mereka membuat kalender di permulai dari turunnya Nabi Adam ke bumi, dan kalender tersebut berlaku sampai bencana banjir besar (zaman Nabi Nuh), kemudian sampai zaman Nabi Ibrahim al-Khalil dibakar api, kemudian sampai zaman Nabi Yusuf, kemudian sampai zaman Nabi Musa saat beliau keluar dari Mesir yang membebaskan (perbudakan) kaum Bani Israil, kemudian sampai zaman Nabi Dawud, kemudian sampai Nabi Sulaiman, kemudian sampai Nabi Isa. Sebahagian pendapat mengatakan bahwa orang Yahudi sudah membuat kalender mulai dari runtuhnya Baitul Maqdis, dan orang Nashrani membuat kalender mulai dari saat Nabi Isa diangkat ke langit. Adapun kalender Islam, maka sesuai riwayat al-Hakim dalam al-Iklil dari az-Zuhri dengan status mu’dhal, bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Nabi Terpilih ketika datang ke Madinah menitahkan untuk membuat kalender, maka ditulislah bahawa kejadian tersebut terjadi di bulan Rabi’uil Awal. Imam al-Hakim dan ahli hadits lain juga meriwayatkan bahwa di era kekhalifahan Umar bin Khaththab, beliau mengadakan sidang dengan mengumpulkan beberapa shahabat di tahun ke-17 Hijriyyah. ketika itu sebahagian hadirin mempunyai usul: “Sebaiknya kalender di mulai dari saat Rasulullah diangkat menjadi Nabi”. Dan yang lain berpendapat: “Mulai dari hijrah Rasulullah”. Kemudian Umar bin Khaththab berkata: “Hijrah adalah momentum yang memisahkan antara haq dan bathil”, maka akhirnya mereka menetapkan penanggalan dari hijrah dan semua hadirin sepakat”.
Mereka tidak memulai penanggalan dari saat Rasulullah diangkat menjadi Nabi, lantaran penentuan waktunya yang masih diperselisihkan, dan tidak dari saat wafatnya Rasulullah, lantaran yang demikian itu bisa mengingatkan kembali kesedihan berpisah dengan beliau, dan juga tidak dimulai saat Rasulullah datang ke Madinah”

Dan alasan kenapa Muharram menjadi awal tahun Hijriyyah (Qamariyyah) adalah sebagaimana disebutkan al-Munawi dalam Faidh al-Qadir (I/134):

وَإِنَّمَا جَعَلُوْهُ مِنْ أَوَّلِ المحَرَّمِ لِأَنَّ ابْتِدَاءَ العَزْمِ عَلَى الِهجْرَةِ كَانَ فِيْهِ إذْ البَيْعَةُ كَانَتْ فِي ذِيْ الحِجَّةِ وَهِيَ مُقَدِّمَةٌ لَهَا وَأَوَّلُ هِلاَلٍ هَلَّ بَعْدَهَا المحَرَّمُ وِلِأَنَّهُ مُنْصَرِفُ النَّاسِ مِنْ حَجِّهِمْ فَنَاسَبَ جَعْلُهُ مُبْتَدَأً
“Mereka mengawali dengan bulan Muharram lantaran di bulan tersebut tekad hijrah diawali, karena baiat (aqabah) terjadi di (pertengahan) bulan Dzul Hijjah dan peristiwanya terjadi lebih dahulu daripada hijrah. Dan juga bulan yang muncul setelah Dzul Hijjah adalah Muharram. Alasannya juga karena Muharram adalah ketikanya para jamaah haji pulang dari ibadah hajinya, maka pantas jikalau penanggalan dimulai dari bulan tersebut”.
Dan kita tahu bahawa ketika hijrah Rasulullah sampai di Madinah pada tarikh 12 Rabi’ul Awal atau bertepatan dengan 24 September 622 M. sehingga permulaan kalender dijatuhkan pada bulan Muharram adalah dimundurkan dua bulan.
Cerita diatas memantapkan bahwa ditetapkannya kalender Islam adalah hasil persetujuan musyawarah Sayyidina Umar bin Khaththab dengan beberapa shahabat. Namun bukan berarti beliau adalah orang yang membuat-buat nama bulan hijriyyah. Karena sebagaimana penjelasan diatas bahwa nama-nama bulan Qamariyyah sudah ada di zaman sebelum Islam.
Dalam al-Qur’an disebutkan jumlah bulan Qamariyyah, dan dalam hadits Rasulullah disebutkan secara jelas nama-nama bulan Qamariyyah tersebut yang berjumlah 12.

Allah berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram”. (QS. At-Taubah: 36).

Dalam sebuah hadits shahih disebutkan:

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Dari Nabi shallallahu ‘alai wasallam bersabda: “Sesungguhnya zaman telah berputar sebagaimana keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun adalah dua belas bulan yang diantaranya adalah empat bulan mulia; yang tiga berturut-turut; Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan Muharram, dan Rajab-nya Kabilah Mudhar adalah antara Jumada dan Sya’ban” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari hadits diatas mengantarkan kepada satu faham bahawa nama-nama hari telah dicetuskan dalam Islam dan Allah telah menetapkan urutannya.

Kesimpulannya, kalender Qamariyyah yang menggunakan peredaran bulan telah digunakan oleh Arab jahiliyyah dan era Rasulullah. Hanya saja penggunaan rasmi kalender hijriyyah yang berdasar bulan Qamariyyah yang dipermulai dari Muharram rasmi dimulai di zaman Sayyidina Umar bin Khaththab.

Ustaz Nur Hidayat

Sabtu, 29 Jun 2019

Mazhab Ja’fary dan Kekeliruan Syiah

Mazhab Ja’fary dan Kekeliruan Syiah


Share Button
Kenyataan pasti yg terdapat pada Madzhab Ja’fary  adalah : Secara ilmu dan riwayat madzhab ini tidak boleh dikatakan benar- benar mengikuti fiqh yg berasal dari Imam Jafar Shodiq ra atau Aimmah Itsna Asyariyyah.

1476762_10201216862329647_2027166840_n
Percayakah Anda ? Silahkan dibaca terus perbahasan dibawah ini :

Terbukti dari apa yg dikatakan oleh ulama mereka yaitu Abu Ja’far Ath Thusy seorang syekh dari golongan Syiah Imamiyyah, dapat kita lihat dari Kitab ‘Iddatul Ushul karya Asy Syekh Ath Thusi hal 137- 138 :

! وقد ذكرت ما ورد عنهم عليهم السلام من الاحاديث المختلفة التي تختص الفقه في كتابي المعروف ب‍ (الاستبصار) (4) وفي كتاب (تهذيب الاحكام) (5) ما يزيد
________________________________________
[ 138 ]
على خمسة آلاف حديث، وذكرت في أكثرها اختلاف الطائفة في العمل بها وذلك أشهر من أن يخفى حتى انك لو تأملت اختلافهم في هذه الاحكام وجدته يزيد على اختلاف (1) * أبي حنيفة (2)، والشافعي، ومالك (3) ووجدتهم مع هذا الاختلاف العظيم لم يقطع أحد منهم موالاة صاحبه، ولم ينته إلى تضليله وتفسيقه والبراءة من مخالفته

” Dan sesungguhnya aku telah menyebutkan mengenai riwayat-riwayat yang berasal dari para imam tentang hadith-hadith yang mengalami perselisihan, khususnya  masalah fiqih di dalam 2 buah kitabku, yaitu Al Istibshor dan Tahdzibul Ahkam, tidak kurang dari 5000 hadis yg bertentangan ( dari periwayatan para aimmah).
Dan aku telah menyebutkan dalam sebagian besarnya, yaitu perbedaan suatu golongan dalam pengamalannya, demikian itu  adalah hal masyhur yg tidak bisa disembunyikan, sehingga jika engkau renungkan tentang ikhtilaf mereka dalam pengambilan hukum, engkau akan mendapatinya melebihi perselisihan antara Abu Hanifah, Syafi’i, dan Malik. Dan aku menemukan mereka dalam perbedaan yg banyak ini, tidak ada satupun diantara mereka yg bisa memastikan untuk bisa menolong temannya. Dan tiada hentinya untuk menyesatkan dan memfasiqkannya, serta berlepas diri kepada yg menyelisihinya.”

Dari sisi lain diketahui bahwa mereka tidak memiliki satupun kitab karangan langsung dari Imam Ja’far Shodiq Ra, baik kitab fiqh ataupun hadith yg dikumpulkan ditulis oleh beliau ra, atau bahkan karangan dari murid beliau yg terdekat sekalipun tidak bisa kita jumpai, akan tetapi kitab2 mereka yg ada sekarang ini sanad periwayatan yang mereka tampilkan hanyalah anggapan dan sangkaan yang coba mereka sambung-sambungkan kepada para Imam Ra.

Berikut kutipan dan pengakuan tulus dari seorang ulama kenamaan Syiah yg bernama Syarif Al Murtadlo di dalam kitabnya Rosail Syarif Al Murtadlo juz 3 hal 310 :

فإن معظم الفقه وجمهوره بل جميعه لا يخلو مستنده ممن يذهب مذهب الواقفة، إما أن يكون أصلا في الخبر أو فرعا “، راويا ” عن غيره ومرويا ” عنه. وإلى غلاة، وخطابية، ومخمسة، وأصحاب حلول، كفلان وفلان ومن لا يحصى أيضا ” كثرة

Sesungguhnya kebanyakan fiqh ( Syiah ) bahkan keseluruhanya tidak terlepas dari berpedoman kepada madzhab yg terhenti, adakalanya ushul atau furu’nya khobar itu, keduanya diriwayatkan dari jalur lain dan ada kalanya keduanya darinya, kepada kaum Ghulat, Khitobiyah, Makhmasah, Penganut Hulul, seperti fulan dan fulan serta perowi lain yg tidak terhitung banyaknya ( Ringkasnya Madhab Ja’fary tidak bisa disandarkan dan disambungkan langsung kepada Imam Ja’far Shodiq Ra)


Maka dari mana dapat dikatakan tentang kebenaran Madzhab Ja’fary adalah bersumber dari Imam Ja’far Shodiq Ra?

Boleh dipastikan bahwa apa yg di akui dalam pemahaman mereka tentang Fiqh Ja’fary adalah bersumber dari Imam Ja’far Shodiq Ra adalah tidak terbukti dengan menggunakan sanad yg pasti, akan tetapi hanya bersumber dari peribadi dari para ulama pengikut Imamiyah itu sendiri, semisal : As Shodr, Al Sistany, Al Khu’i, Al Khomainy, Al Khemenei, dsb.

Adapun kitab rujukan bab fiqh yg tertua dari dari Madzhab Imamiyah adalah kitab Furu’ Al Kafi Al Kulainy yg wafat pada 329 h atau setelah wafatnya Imam Ja’far Shodiq Ra 180 thn, kemudian kitab berikutnya kitab Man La Yadurruhul Faqih karya Muhammad bin Ali bin Babawaihy Al Qummy yg wafat thn 381 h atau setelah wafatnya Imam Ja’far Ash Shodiq Ra berkisar 230 thn kemudian.

Maka boleh dipastikan bahwa madzhab 4 dari Ahlus sunnah lebih mendekati kepada para Imam Ahlul Bayt karena Imam Malik Ra(93-179h) adalah murid langsung dari Imam Ja’far Shodiq Ra,

Imam Syafii Ra(150-204h) adalah murid langsung dari Imam Malik Ra

Imam Abu Hanifah Ra(80-151h) adalah murid langsung dari ayah Imam Ja’far Shodiq Ra, yaitu Imam Muhammad Al Baqir Ra.

Maka boleh kita perhatikan perbezaan tahun dari kehidupan mereka, siapa yg lebih dekat kepada Imam Ja’far Shodiq Ra.

1. Imam Ja’far Shodiq Ra hidup pada thn 80-114 h

2. Imam Abu Hanifah Ra 80 -151 h sezaman dgn Imam Ja’far Shadiq ra dan menjadi murid ayahnya Imam Muhammad Al Baqir Ra

3. Imam Malik Ra 93-179 h murid dari Imam Ja’far Shodiq Ra

4. Imam Syafii Ra 150-204 h atau 36 thn setelah wafat Imam Ja’far Shodiq Ra

Boleh dibandingkan dengan rujukan sumber rujukan madzhab Ja’fary ( bukan pencetus madzhab Ja’fary)

5. Alkulainy ( Ulama Syiah ) 294 h atau 180 thn stlh wafat Imam Ja’far Shodiq Ra

6. Muhammad bin Ali Babawaihy ( Ulama Syiah ) 344h atau 230 thn setelah wafat imam Ja’far Shodiq Ra.

Maka dari sini dapat diketahui, siapa yg lebih berhak menuntut mewarisi ilmu dari para Imam Ahlul Bayt secara sanad ilmu dan kedekatan ? Karena jelas di akui dalam sejarah bahwa ke empat madzhab yg dianut ahlus sunnah adalah para pecinta Ahlul Bayt sejati dalam perjuangannya membela para Ahlul Bayt dalam ajaran dan keyakinanya .

Ada satu komentar menarik dari Ath Thusi mengenai orang yg telah mengetahui perbezaan-perbezaan yang terjadi diantara ulama mereka ini :

ومن بلغ إلى هذا الحد لا يحسن مكالمته، ويجب التغافل عنه بالسكوت

Barang siapa yg sampai pada batas ini, maka tidak bagus untuk membicarakannya. Wajib baginya untuk melupakannya dengan cara diam !!



Ditulis oleh: Dodi ElHasyimi

Jumaat, 28 Jun 2019

Hukum Mengucapkan Madad Ya Rasulallah : Pencerahan Buat Abu Anas Madani

Hukum Mengucapkan Madad Ya Rasulallah : Pencerahan Buat Abu Anas Madani
17/08/201413,551 viewer | Posted by aswj-rg.com
Share Button

Pin It
Artikel pada kali ini kami merespon terhadap status facebook Abu Anas Madani yang boleh dikira sebagai berbahaya kepada masyarakat kerana boleh menjerumuskan kepada budaya takfir mentakfir, kami mengharapkan supaya Abu Anas Madani lebih teliti dan ilmiah ketika mengulas sesuatu isu apatah lagi jika implikasinya adalah syirik dan takfir, Jika tidak mampu berbuat secara ilmiah, berdiam diri adalah lebih baik dari menimbulkan kerosakan kepada masyarakat. Selepas ini kami akan mula menghadapkan para penyelidik kami untuk mengoreksi beberapa lagi tulisan abu anas madani di facebook atau laman web beliau (jika ada) kerana terlalu banyak aduan yang diterima pihak kami dari masyarakat bahawa Abu Anas Madani mengelirukan masyarakat dengan penulisan-penulisan beliau. Wallahualam. Status facebook yang dimaksudkan boleh dilihat disini:



https://www.facebook.com/AbuAnasMadani/posts/942200195806615:0



Tawassul dan istighatsah kepada para nabi atau orang shalih yang sudah wafat telah diamalkan sejak masa ulama salaf yang shalih. Dalam berbagai macam redaksi tawassul dan istighatasah, terus dipraktekkan dari generasi salaf hingga saat ini oleh mayoritas umat muslim di berbagai belahan dunia ini, tak ada yang mengingkarinya kecuali segelintir kaum yang tidak memahami subtansi tawassul dan istighatsah dengan baik dan benar sesuai pemahaman ulama salaf yang shalih.



1476762_10201216862329647_2027166840_n



Berikut di antara kekeliruan segelintir kaum itu dalam memahami redaksi istighatsah dengan teks “ al-Madad atau adrikni “ :



Dr Abu Anas mengatakan :

Sebahagian melaungkan qasidah ini tanpa ada niat memohon pertolongan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam, dan kita berharap inilah yang diyakini kebanyakan mereka yang membaca Qasidah itu. Akan tetapi terdapat sebahagian mereka yang benar-benar meyakini bahawa boleh meminta tolong daripada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam selepas kewafatan baginda kerana mereka berpegang bahawa Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup di alam kubur, dan mampu mendoakan umatnya sebagaimana ketika baginda sallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup.



Kami jawab :
Yang kedua pun tak salah menurut ajaran Ahlus sunnah wal Jama’ah. Karena meminta pertolongan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selepas kewafatannya, juga tidak meyakini sumber atau penciptaan pertolongan maupun madhorot dari dzat Rasulullah sendiri melainkan meyakini bahwa pertolongan, bantuan, manfaat ataupun madharat (bahaya) hanyalah dari Allah semata yang menciptakannya. Hal ini sesuai pemahaman mayoritas ulama Ahlus sunnah wal Jama’ah sejak masa Nabi, sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga masa kita sekarang ini dan dipegang oleh mayoritas umat muslim di seluruh penjuru dunia ini.





Sebelum kami menjelaskan secara detail, ada baiknya Dr Abu Anas merenungi hadits-hadits sahih berikut ini :



إن لله ملائكةً في الأرض سوى الحفظة يكتبون ما يسقط من ورق الشجر، فإذا أصاب أحدكم عرجة بأرض فلاة فليناد: أعينوا عباد الله

“ Sesungguhnya Allah memiliki malaikat di bumi selain Hafadzah yang menulis daun-daun yang jatuh dari pohonnya, maka jika kalian ditimpa kesulitan di suatu padang, maka hendaklah mengatakan : “ Tolonglah aku wahai para hamba Allah “.[1]



Dengan jelas hadits ini menunjukkan seruan yang meminta pertolongan kepada orang yang tidak hadir di hadapannya, entah itu wali Allah atau pun malaikat dan ini merupakan bagian dari istighatsah (meminta pertolongan). Nabi telah mengajarkannya pada umat Islam dan ini pun telah diamalkan oleh ulam salaf di antaranya imam Ahmad bin Hanbal dan juga para ulama setelahnya seperti para guru imam Nawawi. Bahkan dalam riwayat yang lain hadits seperti di atas, dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Albani mengomentari bahwasanya imam Ahmad beristighatsah dengan malaikat. Apakah imam Ahmad bin Hanbal telah musyrik karena beristighatasah dengan malaikat sebagaimana keterangan al-Albani dalam kitab as-Silsilah adh-Dhaifah ?



وَقَالَ إِنَّ الشَّمْسَ تَدْنُو يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَبْلُغَ الْعَرَقُ نِصْفَ الأُذُنِ ، فَبَيْنَا هُمْ كَذَلِكَ اسْتَغَاثُوا بِآدَمَ ، ثُمَّ بِمُوسَى ، ثُمَّ بِمُحَمَّدٍ

“ Dan berkata : “ Sesungguhnya matahari akan mendekat di hari kiamat hingga keringat mencapai telinga, ketika keadaan mereka seperti itu, maka mereka beristighatsah dengan Nabi Adam, kemudian kepada Musa kemudian kepada nabi Muhammad “. (HR. Bukhari)



Jika meminta pertolongan kepada nabi yang sudah wafat dilarang, lalu kenapa mereka beristighatsah kepada para nabi di atas dan tidak beristighatsah kepada Allah langsung ? atau apakah syirik boleh dilakukan di akherat dan tidak boleh dilakukan di dunia ?? seandainya meminta pertolongan kepada Nabi yang sudah wafat itu haram dan syirik, sepatutnya juga syirik jika dilakukan di akherat nanti. Kecuali jika mereka menghukumi syirik di dunia dan tidak syirik di akherat.



Nabi juga pernah mengucapkan :



اللهم اسقنا غيثا مغيثا مريئا مريعا نافعا غير ضار عاجلا غيرآجل

“ Ya Allah, turunkanlah hujan yang menolong, menyelamatakan, enak, yang subur, memberi manfaat dan tidak mendatangkan bahaya, segera dan tidak ditunda “. (HR. Abu Dawud : 988 dengan sanad yang sahih)



Dalam hadits yang berupa doa tersebut, Nabi menyebut dan menamakan hujan sebagai Mughits (penolong), Nafi’ (pemberi manfaat) dan Ghair Dhaarrin (Tidak mendatangkan bahaya).



Apakah Nabi kita vonis musyrik dengan ucapannya itu ? Apakah berarti Nabi telah meyakini bahwa hujan itu merupakan penolong, penyelamat dan pemberi manfaat ?? Atau apakah Nabi ingin mengajarkan kesyirikan kepada umatnya ??



Makna ucapan “ al-Madad atau Adrikni Ya Rasulallah “.



Ucapan di atas masuk dalam kategori tawassul dan istighatasah. Kedua ucapan di atas mengandung seruan (nida’ ; Ya Rasulallah) dan tawassul dengan ungkapan “ al-Madad “ atau “ adrikni “. Maka maknanya adalah, “ kami memohon pertolongan dengan perantaraanmu wahai Rasulallah “.



Pada hakekatnya kaum muslimin yang bertawassul atau beritighatsah dengan nabi atau orang shaleh sama ada yang wafat atau yang masih hidup, adalah mereka hanyalah memohon pertolongan dan bantuan kepada Allah semata, dan pertolongan atau bantuan itu termasuk yang Allah mampukan kepada nabi atau orang shalih itu dan Allah kasihkan kepada mereka. Maka ucapan seorang yang bertawassul atau beristighatsah misal : “ Wahai nabi Allah, sembuhkanlah aku, tunaikanlah hutangkau “, maka sesungguhnya ia hanyalah menginginkan : “ Bantulah aku dengan syafa’at dan pertolonganmu agar aku sembuh, dan doakanlah agar hutangku terlunasi, bertawajjuhlah kepada Allah dalam urusanku ini “. Maka mereka kaum muslimin tidaklah meminta kecuali apa yang Allah mampukan dan berikan pada mereka berupa doa dan syafa’at atau pertolongan.



Penisbatan al-madad (pertolongan), al-‘aun (bantuan) kepada Rasulullah atau makhluk lainnya hanyalah majaz (bukan hakekatnya) dan penisbatan semacam ini dibenarkan dalam hadits dan al-Quran sendiri. Dan kaum muslimin pun tidak meyakini pertolongan dan bantuan diciptakan oleh Rasulullah atau makhluk lainnya, melainkan kaum muslimin meyakini pertolongan, manfaat ataupun bahaya hanyalah dari Allah semata.



Contoh sebagaimana yang telah kami tampilkan di awal hadits Nabi berikut :



اللهم اسقنا غيثا مغيثا مريئا مريعا نافعا غير ضار عاجلا غيرآجل

“ Ya Allah, turunkanlah hujan yang menolong, menyelamatakan, enak, yang subur, memberi manfaat dan tidak mendatangkan bahaya, segera dan tidak ditunda “. (HR. Abu Dawud : 988 dengan sanad yang sahih)



Dalam hadits yang berupa doa tersebut, Nabi menyebut dan menamakan hujan sebagai Mughits (penolong), Nafi’ (pemberi manfaat) dan Ghair Dhaarrin (Tidak mendatangkan bahaya).



Mungkinkah Nabi menyebut Hujan sebagai penolong, pemberi manfaat secara hakekatnya dan bukan majaz ?? jelas Nabi tidak bermaksud secara hakekatnya melainkan secara majaz, sebab jelas jika meyakini hujan sebagai pemberi pertolongan dan manfaat secara independen, maka hukumnya mensyirikkan Allah dengan makhluk-Nya. Maka sudah tentu yang Nabi maksudkan adalah secara majaz bukan hakikatnya.



Jika hujan saja boleh disebut al-ghouts secara majaz, maka demikian pula makhluk Allah termulia yakni Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah banyak sebab perantara beliau umatnya bahkan seluruh alam mendapatkan banyak nikmat, pertolongan dan rahmat dari Allah Ta’ala, lebih layak disebut al-ghauts atau al-madad secara majaz.





Contoh, dalam al-Quran disebutkan :



إِنَّمَا أَنَا رَسُولُ رَبِّكِ لِأَهَبَ لَكِ غُلَامًا زَكِيًّا

“ Sesungguhnya aku hanyalah utusan Tuhanmu (wahai Maryam), untuk aku berikan padamu seorang anak yang cerdas “. (QS. Maryam : 19)



Apakah Jibril yang memberikan seorang anak untuk Maryam ?? tentu tidak, yang memberikan dan menciptakan seorang anak hanyalah Allah semata. Maka menisbatkan kata “ AHABA (Aku memberikan) “, adalah bersifat majaz bukan hakikatnya.



Dalam al-Quran Nabi Isa juga mengatakan :



أني أخلق لكم من الطين كهيئة الطير فانفخ فيه فيكون طيرا بإذن الله

“ Aku membuat untuk kamu dari tanah sebagai bentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah “ (QS. Ali Imran : 49 )



Apakah nabi Isa yang menciptakan burung dari tanah liat karena beliau sendiri yang mengatakan mencitpakan dan meniupkan menjadi hidup ?? tidak, akan tetapi kata penciptaan dan peniupan adalah majaz bukan hakikatnya

.

Demikian juga ucapan “ al-Madad Ya Rasulullah “ atau “ adrikni Ya Rasullah “, bukanlah secara hakikatnya melainkan secara majaz saja, adapun hakikatnya yang memberi pertolongan adalah hanyala Allah semata bukan yang lain-Nya. Dan Rasulullah sendiri pun telah menegaskan kepada umatnya :



وإِنما أنا قاسم والله يعطي

“ Sesungguhnya saya hanyalah pembagi sedangkan Allah lah yang memberi “. (HR. Bukhari)



Allah Ta’ala pun telah berfirman :



وإذْ تَقولُ للذي أَنْعَمَ اللهُ عليهِ وأنْعَمْتَ عليه

“ Dan ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau juga telah memberi nikmat kepadanya…” (QS. Al-Ahzab : 37)



Apakah berarti Rasulullah juga mampu memberikan nikmat sebagaimana Allah ? apakah Rasul menjadi sekutu Allah karena sama-sama mampu memberikan nikmat sebagaimana ayat tersebut ?



Tidak demikian, akan tetapi maknanya adalah majaz yakni Rasul hanyalah menjadi faktor penyebab datangnya nikmat dari Allah. Dalam ayat itu, Zaid bin Haritsah mendapat berbagai nikmat dengan sebab (perantara) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia masuk Islam di tangan Nabi, ia dimerdekakan oleh Nabi, ia dinikahkan dengan pilihan Nabi dan ia menjadi sahabat utama Nabi. Namun Allah menisbatkan kalimat, “ engkau (Muhammad) juga telah memberikan nikmat “ kepada nabi Muhammad bukan berarti secara hekekatnya beliau mampu menciptakan nikmat, akan tetapi itu hanyalah majaz yang bermakna nabi Muhammad menjadi faktor penyebab datangnya nikmat.



Inilah pemahaman Ahlus sunnah Wal Jama’ah sejak masa sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga saat ini yang dipegang oleh mayoritas umat muslim di belahan dunia ini.



Jika hal semacam ini dinilai syirik maka sudah pasti Nabi tidak akan mengajarkan kepada umatnya apabila ditimpa kesulitan di suatu tanah lapang hendaknya mengucapkan “ Tolonglah aku wahai hamba Allah ! “, sebagaimana hadits yang telah kami tampilkan di awal. Karena jelas ucapan tersebut seolah meminta pertolongan kepada selain Allah, melainkan meminta pertolongan kepada makhluk yang tidak ada di hadapannya. Kenapa Nabi tidak langsung mengajarkan meminta pertolongan kepada Allah saja ? ini bukti bahwa tawassul dengan nida’ (seruan) telah dilegalitas oleh Nabi sendiri asalkan meyakini bahwa pemberi pertolongan ataupun madhorot hanyalah Allah semata.



Adapun fatwa ulama wahabi yang mengatakan :



ولكن حياته لا تعني أنه يزور الناس في أماكنهم أو يحضر جلساتهم وأذكارهم ويدعو لهم، إذ لو جاز أن يفعل شيئا من ذلك، لفعله مع صحابته وخلفائه وهم أفضل أمته وأعز الخلق عليه.

“ Tetapi hidupnya tidak bermaksud baginda sallallahu ‘alaihi wasallam akan menziarahi manusia di tempat mereka, atau menghadiri majlis-majlis mereka, lalu berdoa untuk mereka. Seandainya baginda sallallahu ‘alaihi wasallam boleh melakukan hal ini, nescaya baginda sallallahu ‘alaihi wasallam akan melakukannya bersama-sama sahabat-sahabatnya, khalifah-khalifahnya kerana mereka adalah umatnya yang paling utama dan paling dicintai olehnya.”



Jelas ini adalah penilaian yang tidak tepat pada sasarannya. Karena kami meyakini bahwa apa yang kami ucapkan bahkan apa yang kami lakukan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya tanpa harus datang ke tempat atau majlis kami. Dan pernyataan ulama wahabi tersebut justru bertentangan dengan hadits-hadits sahih. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :



حَياَتيِ خَيْرُ لَّكُمْ فَاِذَا أَنَامِتُّ كَانَتْ وَفَاتِى خَيْرًا لَكُمْ تُعْرَضُ عَلَىَّ أَعْمَالَكُم فَاِنْ رَأَيْتُ خَيْرًا حَمِدْتُ الله وَأِنْ رَأَيْتُ شَرًّا اسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ



“Hidupku didunia ini baik untuk kalian. Bila aku telah wafat, maka wafatku pun baik bagi kalian. Amal perbuatan kalian akan diperlihatkan kepadaku. Jika aku melihat sesuatu baik, kupanjatkan puji syukur kehadirat Allah, dan jika aku melihat sesuatu yang buruk aku mohon kan ampunan kepada-Nya bagi kalian”.[2]



Hadits ini begitu jelas bahwasanya amal perbuatan kita diperlihatkan kepada Rasulullah dan bahkan Rasulullah juga mendoakan kita dan memohonkan ampunan untuk kita di alam barzakhnya tanpa beliau harus datang ke tempat atau majlis kita.



Ibnul Qayyim menyebutkan sebuah hadits berikut :

من صلى علي عند قبري سمعته ومن صلى علي من بعيد اعلمته

“ Barang siapa yang membaca shalawat di dekat makamku, maka aku mendengar-nya. Dan barang siapa yang membaca shalawat dari tempat yang jauh, maka aku diberitahukannya ”.[3]



Hadits ini menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui ucapan sholawat umatnya sama ada di dekat kuburnya ataupun di tempat yang jauh. Kedua hadits di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwasanya perbuatan kita dan ucapan sholawat kita dapat diketahui oleh Nabi di manapun kita berada.



Tawassul dan Istighatasah dengan Nabi atau wali yang sudah wafat telah diamalkan sejak masa ulama salaf shalih.



Pada hakekatnya meminta pertolongan kepada wali atau orang shalih yang sudah wafat dengan cara bertawassul atau istighatsah maka maksudnya adalah memohon kepada para Nabi dan orang-orang shalih untuk menjadi faktor penyebab di sisi Allah dalam memenuhi apa yang mereka mohon dari Allah. Dengan cara Allah menciptakan kebutuhannya sebab syafaat, doa dan tawajjuh para wali dan orang shalih tersebut, bukan meminta langsung kepada wali atau orang shalih untuk menciptakan apa yang mereka minta dan inginkan dan bahkan hal terkabulnya hajat sebab tawassul kepada para wali merupakan salah satu mu’jizat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.



Al-Hafidz Ibnu Shalah (w 643 H) berkata ketika menceritakan mu’jizat Nabi :



وَذَلِكَ أَنَّ كَرَامَاتِ اْلأَوْلِيَاءِ مِنْ أُمَّتِهِ وَإِجَابَاتِ اْلمُتَوَسِّلِيْنَ بِهِ فيِ حَوَائِجِهِمْ وَمَغُوْثَاتِهِمْ عَقِيْبَ تَوَسُّلِهِمْ بِهِ فيِ شَدَائِدِهِمْ بَرَاهِيْنُ لَهُ صَلىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوَاطِعُ وَمُعْجِزَاتٌ لَهُ سَوَاطِعُ وَلاَ يَعُدُّهَا عَدٌّ وَلاَ يَحْصُرُهَا حَدٌّ أَعَاذَنَا اللهُ مِنَ الزَّيْغِ عَنْ مِلَّتِهِ وَجَعَلَنَا مِنَ اْلمُهْتَدِيْنَ اْلهَادِيْنَ بِهَدْيِهِ وَسُنَّتِهِ

“ Demikian itu bahwa karamah para wali Allah dari umatnya, dan terkabulnya hajat-hajat orang-orang yang bertawassul dan beristighatsah dengan mereka ketika dalam keadaan susah, merupakan bukti yang kuat dan mu’jizat yang terang, yang tidak mampu dihitungnya, kita berlindung kepada Allah dari menyimpang dari ajarannya dan menjadikan kami termasuk orang yang mendapat hidayat dengan petunjuknya dan sunnahnya “[4]



Al-Imam al-Alusi al-Mufassir mengatakan :



وبعد هذا كلـه لا أرى بأساً في التوسـل إلى الله بجاه النبي صلى الله عليه وسلم عند الله تعالى حياً وميتاً

“ Setelah (hujjah-hujjah) ini, maka saya mengatakan tidak mengapa di dalam bertawassul kepada Allah dengan perantara jaah (kedudukan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi Allah, sama ada Nabi masih hidup ataupun sudah wafat “.[5]



Kemudian beliau juga mengatakan :



لا بأس به أيضاً إنْ كان المتوسل بجاهه مما علم أنّ له جاهاً عند الله تعالى كالمقطوع بصلاحه وولايته

“ Tidaklah mengapa juga bertawassul, jika orang yang dijadikan perantara tawassul adalah orang yang memiliki jaah (kedudukan) di sisi Allah Ta’ala seperti orang yang sudah diyakini dengan keshalihan dan kewaliannya “.[6]



Tawassul, istighatasah dan tabarruk dengan Nabi atau orang shalih yang sudah wafat telah diamalkan sejak masa salaf bahkan hingga datang ke kuburannya.



Al-Khatib al-Baghdadi dalam Tarikhnya berkata dari Abi Abdillah al-Mahamili bahwa ia berkata :



أعرف قبر معروفٍ الكرخي منذ سبعين سنةً، ما قصده مهموم إلا فرج الله همه

“ Aku tahu makam Ma’ruf AL-Kurkhi sejak 70 tahun, tidaklah seorang yang susah mendatanginya, kecuali Allah melapangkan kesusahannya “.[7]



Abu Abdillah bin al-Muhamili ini lahir di Baghdad pada tahun 235 H dan wafat pada tahun 330 H.



Ibnu Khalkan juga mengatakan :



وأهل بغداد يستسقون بقبره ويقولون قبر معروف ترياق مجرب. وقبره مشهور يزار

“ Penduduk Baghdad (bertawassul) dengan istisqa melalui kuburannya dan mengatakan, “ Kubur Ma’ruf adalah obat yang mujarrab “, dan kuburannya masyhur (terkenal) banyak diziarahi “[8]



Dan Ma’ruf al-Khurkhi wafat pada tahun 200 Hijriyyah.



Seorang ulama salaf bernama Ibrahim al-Harbi (w 285 H) di mana imam Ahmad bin Hanbal pernah memondokkan putranya pada beliau, seorang Hafidz, Faqih dan Mujtahid pernah berkata :

قبر معروفٍ الترياق المجرب

“ Kuburan Ma’ruf al-Kurkhi adalah obat yang mujarrab “,

Al-Khatib al-Baghdadi mengomentarinya : “ Tiryaq adalah obat yang diracik dari berbagai bahan yang dikenal di kalangan para tabib masa lalu karena banyaknya manfaatnya, dan banyak macamnya. Al-Harbi menyerupakan makam Ma’ruf al-Kurkhi dengan obat di dalam banyaknya manfaat, maka seolah-olah al-Harbi berkata : “ Wahai manusia, datanglah ke kuburan Ma’ruf al-Kurkhi dengan bertabarruk karena banyak manfaat yang akan diperoleh “.[9]



Al-Khatib al-Baghdadi berkata dari Hasan bin Ibrahim al-Khallal, bahwa beliau berkata :



ما همني أمر فقصدت قبر موسى بن جعفرٍ فتوسلت به إلا سهل الله تعالى لي ما أحب

“ Tidaklah ada satu perkara yang membuatku susah, lalu aku dating ke makam Musa bin Jakfar, kemudian aku bertawassul dengannya, maka Allah akan memudahkan apa yang aku inginkan “.[10]



Para Imam Ahli Hadits, yaitu al-Imam al-Thabarani, al-Imam Abu al-Syaikh al-Ashibhani dan al-Imam Ibn al-Muqri beristighatsah dengan Nabi. Disebutkan bahwasanya mereka bertiga datang ke kota Madinah lalu, ketika mereka kelaparan maka malam harinya Ibn al-Muqri menziarahi makam Nabi dan mengucapkan, “ Wahai Rasulallah, kami lapar “. Maka tidak lama datanglah seorang keturunan Nabi dengan membawa makanan yang cukup banyak untuk mereka, karena ia bermimpi Nabi untuk memberikan makanan pada mereka bertiga.[11]



Al-Khatib al-Baghdadi juga meriwayatkan :



قال أنبأنا أبو عبد الرحمن محمد بن الحسين السلمي بنيسابور قال سمعت أبا بكر الرازي يقول سمعت عبد الله بن موسى الطلحي يقول سمعت أحمد بن العباس يقول خرجت من بغداد فاستقبلني رجل عليه أثر العبادة فقال لي من أين خرجت قلت من بغداد هربت منها لما رأيت فيها من الفساد خفت أن يخسف بأهلها فقال ارجع ولا تخف فان فيها قبور أربعة من أولياء الله هم حصن لهم من جميع البلايا قلت من هم قال ثم الامام أحمد بن حنبل ومعروف الكرخي وبشر الحافي ومنصور بن عمار فرجعت وزرت القبور ولم أخرج تلك السنة

“ Telah menceritakan padaku Abu Abdurrahman bin Husain as-Salma di Naisabur, ia berkata, “ Aku mendengar Abu Bakar ar-Razi berkata, “ Akau mendengar Abdullah bin Musa ath-Thalhi berkata, “ Aku mendengar Ahmad bin al-Abbas berkata, “ Aku keluar dari Baghdad, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang ada bekas ibadah atasnya, dan bertanya padaku, “ Dari mana engkau keluar ? “. Aku menjawab, “ Aku lari dari Baghdad, karena aku khawatir Allah menenggelamkan penduduknya ke dalam bumi karena kerusakan yang aku lihat di sana “, maka laki-laki itu berkata, “ Kembalilah dan janganlah takut, karena di Baghdad ada empat makam wali Allah, mereka adalah benteng untuk penduduknya dari semua bahaya “. Aku bertanya, siapa mereka ?, ia menjawab “ Mereka adalah imam Ahmad bin Hanbal, Ma’ruf al-Khurkhi, Bisyr al-Hafi dan Manshur bin ‘Ammar “. Maka aku kembali dan aku ziarahi kuburan-kuburan itu dan aku tidak keluar dari Baghadad selama setahun “.[12]



Dan masih banyak lagi hujjah dan dalil berkenaan masalah ini yang tidka kami tampilkan di sini, semoga yang singkat ini memberikan pencerahan bagi mereka dan mennambah keyakinan khususnya bagi Ahlus sunnah wal Jama’ah.



Ibnu Abdillah al-Katibiy

Kota Santri, 16/08/2014

Bacaan Tambahan:
http://akitiano.blogspot.com/2014/02/al-madad-dari-sisi-pandang-tasawwuf.html
[1] Hadits ini dinilai hasan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar, as-Sakhawi dan al-Haitsami lihat (Majma’ al-Zawaid : 10/132). Bahkan al-Albani mengatakan bahwa hadits ini dikuatkan oleh imam Ahmad bin Hanbal karena imam Ahmad pun mengamalkannya. Lihat as-Silsilah adh-Dhaifah : 2/109

[2] Al-Haitsami menilai hadits tersebut sahih, lihat kitab Majma’ az-Zawaid : 9/24. Al-Hafidz al-Iraqi menilai sanadnya jayyid, lihat : Tharah at-Tatsrib : 3/297. Dan imam Suyuthi menilainya sahih, lihat kitab al-Khashaish : 2/281

[3] Jilaa al-Afham, Ibnul Qayyim : 109. Hadits ini sanadnya dinilai jayyid oleh imam as-Sakhawi dan al-Hafidz Ibnu Hajar, lihat kitab al-Qaul al-Badi’ : 227

[4] Aadab al-Muffti wa al-Mustafti : 1/210

[5] Tafsir Ruh al-Ma’ani : 4/187

[6] Tafsir Ruh al-Ma’ani : 4/188

[7] Tarikh Baghdad : 1/135

[8] Tarikh Ibnu Khalkan : 2/224

[9] Tarikh Baghdad : 1/122

[10] Tarikh Baghdad : 1/120

[11] Lihat kitab Tadzkirat al-Huffazh, adz-Dzahabi Juz 3 hal. 974.

[12] Tarikh al-Baghdad : 1/133

https://web.archive.org/web/20150516140338/http://www.aswj-rg.com/2014/08/hukum-mengucapkan-madad-ya-rasulullah-pencerahan-buat-abu-anas-madani.html