CARIAN ILMU DI JOMFAHAM :

Rabu, 26 Mei 2010

Kedudukan Hadits Talqin Setelah Dikubur

















Oleh : Thoriq

Soalan :

Bagaimana kedudukan hadits yang biasa dijadikan argumen untuk mengamalkan talqin terhadap mayat yang telah dikubur?

Jawapan :

Kita lihat bagaimana para ulama dan huffadz berpendapat.

Diriwayatkan Imam Ad Daraquthni dalam Al Mu’jam:
Dari Abu Umamah, beliau mengatakan, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,”Jika salah satu dari kalian telah meninggal, hingga kalian meratakan tanah di atasnya, maka hendaknya salah satu dari kalian berdiri di dekat kepalanya, kemudian mengatakan, ‘Wahai fulan bin fulanah,’ sesungguhnya ia mendengar akan tetapi tidak menjawab. Lalu hendaklah mengatakan,’Wahai fulan-bin fulanah,’ untuk kedua kalinya. Maka sesungguhnya ia duduk, kemudian hendalah mengatakan, ‘Wahai fulan bin fulanah’. Maka ia mengatakan, ‘Berilah nasehat kepada kami, semoga engkau mendapat rahmat Allah.’ Akan tetapi kalian tidak mendengar. Hendaklah ia mengatakan,’Sebutkan bahwa engkau keluar dari dunia berada di atas syahadat, bahwa tiada ilah kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, dan sesungguhnya engkau telah ridha dengan Allah sebagai Rabb, Islam sebagai dien, Muhammad sebagai nabi, serta Al Qur’an sebagai imam. Sesungguhnya Munkar dan Nakir terlambat dan salah satunya mengatakan,’Kita pergi dari sini, kita tidak duduk di sini, dan ia telah ditalqin hujjahnya, dan hujjahnya berhadapan dengan Allah dan Rasul-Nya bukan dengan keduanya (Munkar dan Nakir).’ Lalu seorang laki-laki bertanya,’Wahai Rasulullah, jika ia tidak tahu ibunya?’ Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menjawab, ‘Dinisbatkan kepada ibunya Hawa, wahai fulan bin Hawa.


Komentar para ulama mengenai kedudukan hadits ini:

Al Hafidz Ibnu Shalah

Sebagaimana dinukil Imam An Nawawi:
“Telah kami riwayatkan mengenai hal itu (talqin mayat setelah dikubur) hadits Abu Umamah, yang tidak tegak sanadnya (dhoif). Akan tetapi ia dikuatkan dengan syawahid dan amalan penduduk Syam sejak dahulu.”
(Al Adzkar, 279).

Imam An Nawawi:
“Dan hadits tentangnya (talqin setelah dikubur) dhaif, akan tetapi hadits-hadits fadhail ditoleransi oleh para ahli ilmu dari muhaditsin dan lainnya. Dan hadits ini dikuatkan dengan syawahid dari hadits-hadits yang shahih semisal,”berdoalah kelain kepada Allah untuk keteguhannya,’ dan washiyat Amru bin Ash, “Berdirilah kalian di atas kuburku selama waktu menyembelih kambing dan membagi-bagikan dagingnya, hingga aku merasa tenang dengan keberadaan kalian, dan aku mengetahui, apa yang bisa membuat utusan Allah (Munkar-Nakir) pergi.’ Yang diriwayatkan Muslim dalam shahihnya. Dan ahlu Syam sudah mengamalkan talqin ini sejak masa awal.”
(Ar Raudha At Thalibin, 2/139)

Ibnu Qayyim Al Jauziyah
“Hadits ini, walau tidak tsabit (dhaif), akan tetapi terus berkesinambungan pengamalan dengannya di seluruh penjuru dan masa tanpa ada pengingkaran, cukup untuk dijadikan dasar amalan.”
(Ar Ruh, 14)

Walhasil, hadits ini sejatinya dhaif, tapi terangkat derajatnya dengan dijadikannya sebagai pijakan ahlul ilmi dan umat sebagai rujukan. Ini tidak bertentangan dengan kaidah yang ditetapkan ulama.

Al Hafidz As Shahawi mengatakan,
“Dan demikian pula jika umat menerima hadits dhaif, maka ia boleh diamalkan menurut pendapat shahih.”
(Fath Al Mughits bi Syarh Alfiyah Al Hadits, 120-121).

Al Kamal bin Al Humam saat mengkritik mereka yang mendhaifkan hadits yang maknanya,
”Talaq untuk budak dua talak dan iddahnya dua haidh,” mengatakan,” Yang juga membuat hadits menjadi shahih adalah pengamalan ulama yang sesuai dengannya. Dan At Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits ini juga mengatakan,’Hadits gharib (dhaif) dan para ahli ilmu mengamalkannya, termasuk para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan lainnya.’”
(Fath Al Qadir, 3/143).

Hal yang sama disebutkan Hafidz As Suyuthi,
”Sebagian dari mereka (huffadz) mengatakan, ‘Hadits dihukumi shahih, jika manusia menerimanya, walau isnadnya tidak shahih.”
(At Tadrib Ar Rawi, 24).

Adalah Hafidz At Tirmidzi, yang sering mengungkapkan dalam kitab Al Jami’ beliau, bahwa hadits yang beliau riwayatkan dhaif, akan tetapi diamalkan oleh ahli ilmu.

Walhasil, penguatan hadits talqin di atas telah sesuai dengan kaidah. Tentu, tidak semua orang bisa menggunakan kaidah ini secara sembarangan, karena hanya ahlinya lah yang mengetahu kapan hadits dhaif benar-benar diterima umat Islam, hingga ia boleh diamalkan. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.

Sumber rujukan:

Al Adzkar min Kalam Sayid Al Abrar. (Dar Al Minhaj, Jeddah, cet I, 2005)

Raudhah At Thalibin. (Al Maktab Al Islami, 1991)

Tuhfah Ar Mardhiya fi Hilli Ba’dhi Al Musyqilat Al Haditsiyah, yang disertakan dalam lembaran terakhir kitab Al Ajwibah Al Fadhilah li Al As’ilah AL Ashrah Al Kamilah, Imam Al Laknawi. (Dar As Salam, Kairo, cet. III, 1994)


Bacaan Tambahan :

Selasa, 25 Mei 2010

Jangan Celupar Mulut Terhadap Anak

Oleh : Mufti Brunei















Do'a ibu bapa kepada anak-anak adalah mustajab dan cepat diterima oleh Allah Subhanahu Wata'ala. Oleh kerana itu, janganlah diucapkan kata-kata yang jahat-jahat dan tidak baik kepada anak-anak yang nakal atau cerdas, kerana tersebut di dalam sebuah hadis yang bermaksud:

"Ada tiga do'a yang diterima oleh Allah Ta'ala iaitu do'a orang yang kena zalim atau kena aniaya ke atas orang yang menzaliminya, do'a orang yang sedang belayar dan do'a ibu bapa ke atas anaknya."

(Hadis riwayat Tirmizi, Abu Daud dan Ibnu Majah)

Kanak-kanak yang nakal atau cerdas menunjukkan ia cerdik dan pandai. Mereka akan sentiasa bergerak, dan ada sahaja perkara yang hendak dibuatnya. Mereka tidak ingin duduk diam. Kelakuan ini adalah sifat semula jadi kanak-kanak. Karenah seperti ini kadang-kadang menimbulkan rasa tidak menyenangkan kepada setengah ibu bapa. Bagi ibu bapa yang kurang kesabaran, mereka akan mengeluarkan kata-kata yang tidak baik seperti menyumpah seranah dan lain-lain perkataan yang boleh membawa akibat yang tidak baik ke atas anak mereka.

Dari itu, ibu bapa hendaklah melayani anak-anak mereka dengan penuh sabar dan sifat kasih sayang, sebab di tangan ibu bapalah yang akan mencorakkan warna-warni kehidupan anak-anak mereka. Setiap ibu bapa tentulah berharap anak-anak mereka akan menjadi orang yang berguna kepada keluarga, bangsa, agama dan negara pada masa yang akan datang. Bahagia anak-anak ada di tangan ibu bapa, demikian juga sebaliknya. Sabda Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam maksudnya:

"Daripada Abu Hurairah Radhiallahu Anhu katanya: Sabda Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam: "Tidak ada seorang kanak-kanak yang dilahirkan melainkan dalam keadaan suci (fitrah), maka kedua ibu bapanya yang bertanggungjawab menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi."

(Hadis riwayat Bukhari dan Muslim)

Allah Subhanahu Wata'ala memerintahkan ibu bapa supaya menjaga anak-anak mereka daripada terjerumus ke jurang api neraka. Dalam hubungan ini, tanggungjawab ibu bapa ialah mendidik, mengajar dan membimbing mereka dengan tunjuk ajar, nasihat, adab sopan, pelajaran agama, mengerjakan ibadat sembahyang dan lain-lain ibadat wajib, cara berpakaian dan sebagainya dari sejak mereka kecil lagi. Firman Allah:


Tafsirnya:

"Hai mereka yang beriman, ambil perlindungan diri kamu dan ahli-ahli kamu, isteri-isteri kamu dan anak-anak kamu daripada api neraka dengan berbuat taat kepada Allah dan beramal dengan hukum-hakam Allah."

(Surat at-Tahrim:6)

Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dengan isnad yang sahih daripada sahabat Jabir Radhiallahu Anhu telah berkata : "Telah bersabda Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam maksudnya:

"Jangan kamu do'akan (menyumpah seranah) di atas diri kamu, jangan kamu menyeranah di atas anak-anak kamu, jangan kamu menyeranah di atas pakaian kamu, jangan kamu menyeranah di atas pekerjaan kamu, jangan kamu menyeranah di atas harta-harta kamu, jangan kamu berjumpa suatu saat yang diterima do'a kamu dengan seranah kamu itu, maka Allah akan menerimanya daripada kamu, yakni ada saat-saat dan waktu yang sangat dilulus permintaan dan do'a seseorang itu. Oleh takutilah kamu akan saat yang baik jadi tempat diterima do'a jahat dan seranah kamu itu."

(Hadis ini tersebut dalam Sahih Muslim)

Di dalam hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Sunni, daripada sahabat Huzaifah Radhiallahu Anhuma telah berkata: "Saya mengadu kepada Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam akan jahat mulut saya," sabda Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam yang bermaksud:

"Di mana kamu daripada mengucap istighfar, yakni jangan jauh daripada istighfar, bahawa demi saya (Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam yang mengucapkan yakni mohon ampun daripada Azzawajalla tiap-tiap hari 100 kali."

Menurut hadis di atas, sebagaimana pendapat Allahyarham Pehin Datu Seri Maharaja Dato Seri Utama Dr. Haji Ismail bin Omar Abdul Aziz, ibu bapa yang celupar mulut itu sunat baginya mengucap istighfar pada setiap masa supaya hilang celupar mulut dan menyeranah itu daripada mulutnya.

Di dalam kitab Sunan Abu Daud dan Ibnu Majah daripada sahabat Ibnu Abbas Radhiallahu 'Anhu telah berkata: 'Telah bersabda Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam yang bermaksud:

"Barangsiapa selalu mengucap Istighfar nescaya Allah lepaskan dia daripada segala kesusahan dan daripada segala masalah dan daripada segala perkara berbangkit yang menyusahkan, dan Allah Ta'ala lepaskan dia daripada segala sedih dan bimbang dan Allah Ta'ala murahkan rezekinya dan diberi rezeki daripada pihak yang tidak disangka."

Oleh yang demikian, khusus kepada ibu bapa atau siapa saja yang celupar mulutnya hendaklah memperbanyak ucapan istighfar setiap hari supaya terhindar daripada ucapan-ucapan yang tidak baik kepada anak atau orang lain

Sumber : Mufti Brunei

Isnin, 24 Mei 2010

Kesimpulan Penjelasan Tentang As-Sawad Al-A'zhom Bab 3

Oleh : Ustaz Mukhlis

Bilangan yang Ramai Merujuk kepada Para Ulama’ dan Pengikut Mereka

Setelah kita jelaskan sebelum ini, ukuran bilangan yang ramai itu adalah merujuk kepada para ulama’ dan ahli ilmu yang menguasai ilmu-ilmu agama dan kefahaman Islam. Maka, apa yang menjadi pegangan dan kefahaman mereka dalam perkara-perkara usul dalam agama perlu diikuti. Merekalah yang menyusun manhaj dan kefahaman agama tanpa kesesatan. Merekalah yang menjaga kefahaman agama yang sahih dalam perkara-perkara usul. Ini berdasarkan nas-nas hadith yang jelas disebutkan sebelum ini. Merekalah As-Sawad Al-A’zhom, yang mana bilangan mereka adalah majoriti dalam kalangan ulama’ dalam sepanjang zaman, sehinggalah tiada lagi ulama’ yang tinggal.

Hal ini jelas berdasarkan perkataan para ulama’ sebelum ini. Imam As-Sindi dan Imam Ibn Athir menegaskan betapa As-Sawad Al-A’zhom adalah pemegang manhaj yang sahih. Itu merujuk kepada para ulama’. Bahkan, di sisi Imam As-Sindi, bilangan mereka yang memegang dengan manhaj yang sahih tersebut adalah ramai. Ini menunjukkan bahawasanya, ukuran As-Sawad Al-A’zhom merujuk kepada ramainya para ulama’ berdasarkan maksud asal perkataan As-Sawad Al-‘Azhom itu sendiri. Isyarat ini juga disebutkan oleh Imam As-Syatibi dalam kitab Al-I’thisham di mana ukuran As-Sawad Al-A’zhom merujuk kepada para ulama’ dan orang-orang awam yang mengikut manhaj majoriti ulama’ tersebut.

Lebih jelas lagi, perkataan Imam Ibn Asakir r.a. yang berkata:

فإن قيل أن الجم الغفير في سائر الأزمان وأكثر العامة في جميع البلدان لا يقتدون بالأشعري ولا يقلدونه ولا يرون مذهبه ولا يعتقدونه وهم السواد الأعظم وسبيلهم السبيل الأقوم قيل لا عبرة بكثرة العوام ولا التفات إلى الجهال الغتام وإنما الإعتبار بأرباب العلم والاقتداء بأصحاب البصيرة والفهم وأولئك في أصحابه أكثر ممن سواهم ولهم الفضل والتقدم على من عداهم على ان الله عزوجل

Maksudnya:

“Kalau dikatakan bahawa bilangan yang ramai dalam setiap zaman dan ramai orang awam (Al-Ammah) dalam setiap tempat tidak mengikut mazhab Al-Asy’ari (tidak mendalami perbahasan aqidah dengan manhaj Al-Asy’ari), tidak bertaqlid dengan mazhabnya, tidak melihat kepada mazhabnya dan tidak berpegang dengannya sedangkan mereka (Al-Asya’irah) adalah As-Sawad Al-A’zhom dan manhaj mereka (ulama’ Al-Asya’irah) adalah manhaj yang lurus. Maka, dikatakan (sebagai jawapan) tidak diambil kira banyaknya orang awam dan tidak dipandang (sebagai kayu pengukur) pada orang-orang jahil, kerana ukuran (As-Sawad Al-A’zhom) adalah di sisi ahli ilmu dan neraca ikutan adalah kepada Ashaab Al-Bashirah (yang mempunyai pandangan mata hati/neraca ilmu) dan kefahaman sedangkan mereka (para ulama’/ahli ilmu dan sebagainya) dalam pengikut mazhab Al-Asy’ari (Ashaabnya) lebih ramai daripada selainnya (ulama’ yang bukan Al-Asya’irah)…”
[Tabyiin Kazb Al-Muftari: 134]



Maka, kita dapat simpulkan bahawasanya memang benar As-Sawad Al-A’zhom adalah mengikut jumlah bilangan yang ramai. Namun, jumlah bilangan yang ramai (majoriti) itu bukan mutlak, iaitu merujuk kepada jumlah bilangan seluruh manusia yang mana majoritinya masih bukan Islam. Ia juga bukan merujuk kepada majoriti orang-orang awam Islam. Majoriti yang diukur adalah majoriti ulama’ Islam dalam setiap zaman. Maka, majoriti para ulama’ yang meneruskan manhaj majoriti ulama’ sebelum mereka, gabungan keseluruhan para ulama’ tersebutlah dinilai sebagai As-Sawad Al-A’zhom.

Orang-orang awam yang mengikut manhaj dan aliran majoriti para ulama’ dalam sepanjang zaman ini juga terangkum dalam As-Sawad Al-A’zhom dari sudut mereka mengikuti para ulama’ tersebut dalam kefahaman agama, terutamanya dalam perkara-perkara usul (asas), samada dalam aqidah, fiqh mahupun tasawwuf.

Kedudukan institusi ulama’ dalam Islam sangat penting khususnya sebagai jambatan bagi orang-orang awam untuk memahami agama Islam dengan kefahaman yang sahih daripada sumber agama. Ketika orang-orang awam cuba berlepas diri daripada institusi ulama’ khususnya pegangan As-Sawad Al-A’zhom, maka merekalah yang akan sesat.

Rasulullah –shollallahu ‘alahi wasallam- bersabda:

‏‏إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا ‏

Maksudnya:

“Sesungguhnya Allah s.w.t. tidak mencabut ilmu dengan cabutan serta merta daripada manusia. Akan tetapi, Allah s.w.t. mencabut ilmu dengan mengambil para ulama’, sehinggalah tiada lagi orang yang berilmu (ulama’), lalu manusia mengambil pimpinan dari kalangan orang-orang jahil. Mereka (orang-orang jahil) ditanya lalu mereka berfatwa tanpa ilmu lalu mereka sesat lagi menyesatkan”.
[Hadith riwayat At-Tirmizi (no: 2576)]


Jadi, pegangan As-Sawad Al-A’zhom adalah pegangan majoriti para ulama’ sejak zaman berzaman dalam perkara-perkara usul agama. Inilah yang perlu difahami secara asas, agar tidak salah dalam menggambarkan kedudukan sebenar “majoriti” tersebut.

Di sinilah juga maksud perkataan Imam Ibn Hibban r.a. yang berkata (yang bermaksud):

Sedangkan pengertian al-Jama’ah setelah sepeninggalan para Sahabat adalah orang-orang yang pada diri mereka berkumpul tiang-tiang agama, akal, dan ilmu, serta sentiasa meninggalkan hawa nafsu yang ada pada mereka dan jumlah mereka adalah sedikit. Dan bukanlah al-Jama’ah itu kumpulan manusia sebarangan dan orang-orang kecil yang tidak berilmu walaupun jumlahnya ramai.
[Shohih Ibnu Hibban: 26/6]

Jumlah mereka sedikit kerana jumlah para ulama’ memang sedikit berbanding orang-orang awam. Oleh sebab itulah, Imam Ibn Hibban r.a. menekankan para ulama’ dengan berkata: “…Dan bukanlah Al-Jamaah itu bererti kumpulan manusia sebarangan dan orang-orang kecil yang tidak berilmu walaupun jumlahnya ramai.”. Ini secara jelas menunjukkan bilangan ramai yang ditolak oleh Imam Ibn Hibban adalah jumlah ramainya orang-orang yang tidak berilmu. Adapun jumlah ramai para ulama’, itulah ukuran sebenar As-Sawad Al-A’zhom.

Sangat benar perkataaan Imam Ahmad bin Hanbal r.a. yang berkata:

هذه الأمة المرحومة قد ميزها الله تعالى على سائر الأمم بكثرة العلماء

Maksudnya: Sesungguhnya umat Islam ini adalah ummah yang dirahmati. Allah s.w.t. memberi keistimewaan kepadanya berbanding umat-umat terdahulu dengan banyaknya ulama’ (dalam umat Islam).
[Manaqib Imam Ahmad oleh Imam Ibn Al-Jauzi r.a.. Dinukilkan dalam Bara’ah Al-Asy’ariyyin m/s: 34]


Penjelasan terhadap Ayat-ayat Larangan Mengikut Ramai Manusia

Sebahagian orang menyenaraikan beberapa ayat Al-Qur’an dalam rangka untuk membatalkan kefahaman ramai para ulama’ tentang As-Sawad Al-A’zhom yang berkaitan dengan majoriti ulama’ Islam yang memimpin majoriti umat Islam dengan nas-nas yang tidak kena pada tempatnya.

Antaranya firman Allah s.w.t.:


وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلا يَخْرُصُونَ



Maksudnya: “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”
(Surah al-An’am, 6: 116)

Penolakan konsep majoriti ulama’ Islam sebagai As-Sawad Al-A’zhom dengan ayat ini adalah suatu Istidlal yang rosak (fasid) kerana konteks ayat ini tidak ada kaitan dengan konsep “majoriti ulama’ Islam” sebagai As-Sawad Al-A’zhom yang telah disebutkan. Ayat ini ditujukan kepada kebanyakan manusia di muka bumi yang sesat dan tidak mengikut kebenaran Islam sama sekali (iaitulah orang-orang kafir).

Imam At-Tabari menafsirkan “ramai manusia di muka bumi” dalam ayat ini sebagai:

))وَإنْ تُطِعْ أكْثَرَ مَنْ فِي الأرْض(( من بني آدم، لأنهم كانوا حينئذٍ كفاراً ضلالاً


Maksudnya:

“((…Jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi…)) dari kalangan bani Adam kerana mereka pada ketika itu adalah orang-orang kafir lagi sesat…”
[Tafsir At-Tabari pada ayat ini]



Imam Al-Qurtubi juga secara jelas berkata:

قوله تعالى: { وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي ٱلأَرْضِ } أي الكفار

Maksudnya: “Firman Allah s.w.t. ((Jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini…)) iaitulah orang-orang kafir…”
[Al-Jami’e li Ahkam Al-Qur’an]



Begitu juga dengan ayat (yang bermaksud):

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”, mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?.”
(Surah al-Baqarah, 2: 170)

Berdasarkan Imam At-Tabari dalam tafsir beliau, melalui beberapa riwayat yang kuat daripada para ulama’ salaf, ayat ini diturunkan kepada suatu kaum daripada golongan Yahudi. Ia adalah tafsiran Saidina Ibn Abbas r.a. dan sebagainya. Bahkan, tafsiran bagi perkataan “mengikut apa yang telah kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami…” berdasarkan sebahagian ulama’ salaf adalah, mereka (sebahagian golongan Yahudi tersebut) menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah s.w.t. dan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah s.w.t.. Kesimpulannya, para mufassirin menegaskan bahawasanya, ayat ini diturunkan ke atas orang-orang kafir.

Adakah ini (menghalalkan yang haram dan sebaliknya) merupakan perbuatan nenek moyang orang-orang Islam, atau para ulama’ Nusantara? Na’uzubillah min su’ Az-Zhon bil muslimin. Hanya golongan Tabdi’e (suka menuduh bid’ah) sahaja kelihatan suka mengharamkan atau membid’ahkan (dengan hukum bid’ah yang sesat) apa yang tidak diharamkan oleh Allah s.w.t..

Jadi, bagaimana ayat yang ditujukan kepada orang-orang kafir boleh digunakan untuk menilai konsep majoriti ulama’ Islam sebagai As-Sawad Al-A’zhom? Begitu jugalah dengan ayat-ayat yang lain yang mengkritik ramai manusia, yang mana ianya ditujukan kepada orang-orang kafir. Sikap begini sangat tidak tepat. Rujuklah perkataan Saidina Ibn Umar r.a. sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari secara ta’liq tentang khawarij:-

إنهم انطلقوا إلى آيات نزلت في المشركين فجعلوها على المؤمنين

Maksudnya:

“Mereka mencari ayat-ayat al-Quran yang ditujukan kepada orang kafir tetapi mereka tujukannya kepada orang beriman”.


Oleh sebab itulah juga, Sheikh Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buti menegaskan tentang As-Sawad Al-A’zhom sebagai berkata:

لا السواد الأعظم من العالم، وإنما تدعوا إلى السواد الأعظم من المسلمين

Maksudnya:

Tidaklah maksud As-Sawad Al-A’zhom (dalam seruan mengikut As-Sawad Al-A’zhom itu) daripada seluruh alam (merangkumi semua manusia termasuk orang-orang kafir) tetapi As-Sawad Al-A’zhom dari kalangan orang-orang Islam.


[Sumber: http://www.ghrib.net/vb/showthread.php?t=11860 ]

Sabtu, 22 Mei 2010

RasuluLlah Bergurau Dengan Kanak-kanak











Oleh : Ustaz Akhi Ahmad Kamil

Daripada Hadrat Anas bin Malik r.a beliau berkata,
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w selalu bergurau dengan kami sehingga Baginda pernah bersabda kepada adik kecilku,

يا أبا عُمَير , ما فعل النغير

Ya Aba Umair , Apa yang dibuat oleh Nughair
(Muttafaqun Alaih)

Nughair adalah burung kecil yang menyerupai burung merpati. Adik kepada Hadrat Anas sering bermain dengan burung tersebut. Namun kemudiannya burung itu mati.


Berkata Imam Abu Isa rahimahullah,

”Hadis ini menunjukkan bahawa Rasulullah s.a.w sendiri pernah bergurau. (Dalam kitab ditulis dengan كان يمازح menggunakan uslub kana + mudhori’ = fe’el madhi istimrari. Maknanya sering juga bergurau, wallahu a’lam-akhi).Baginda s.a.w dalam hadis ini telah memberi kunniyah (gelaran seperti Abu dan Ummu ) kepada seorang anak kecil dengan memanggilnya ‘Aba Umair’. Hadis ini juga menjadi dalil bahawa tidak salah memberi seekor burung kepada anak kecil untuk bermain.

Adapun Baginda s.a.w bersabda demikian adalah kerana adik Hadrat Anas r.a ini mempunyai seekor burung yang dia selalu bermain dengannya, namun burung itu kemudiannya mati. Anak kecil itu berasa sedih. Lalu Baginda s.a.w pun bergurau dengannya untuk membuat dia gembira.
” [1]

Apakah yang menyebabkan kanak-kanak ini gembira?

Adik kepada Hadrat Anas r.a ini adalah seorang kanak-kanak yang cerdas. Kalau kita sendiri semasa kecil dahulu, mungkin kita akan bertmbah sedih sekiranya seseorang menyebut-nyebut lagi mengenai kehilangan barang mainan yang amat kita sayangi sebagaimana layaknya perihal seorang kanak-kanak biasa. Namun tidak pada yang ini.


Berkata Imam al-Manawi rahimahullah,

”Malah dia menjadi amat senang hati kerana Rasulullah s.a.w sendiri berbicara dengannya. Hatinya menjadi riang. Dia bangga kerana Baginda melayannya. Habis satu keluarga diceritakan mengenai hal ini. Rasulullah bercakap dengan saya! Baginda bertanya pada saya! Dia menyibukkan dirinya dengan hal ini sehingga dengannya hilanglah rasa sedihnya. Si kecil ini mempunyai kebijaksanaan dan cerdik, oleh kerana itulah Baginda s.a.w berbicara dengannya begitu.”
[2]

Faedah hadis

Berkata Imam an-Nawawi rahimahullah,

Hadis ini memberi banyak sekali faedah. Antaranya:

1) Harus memberi kuniyah kepada seseorang yang belum ada anak walaupun kanak-kanak. Ini tidaklah pula dianggap sebagai berbohong.

2) Harus bergurau pada perkara yang tidak mendatangkan dosa

3) Harus mentasghirkan sebahagian nama misalnya Hirrah jadi Hurairah, Amr jadi Umair, Fadhl jadi Fudhail, Naghr jadi Nughair.

4) Harus kanak-kanak bermain dengan burung kecil dan menjadikannya (brung itu) miliknya

5) Harus menyusun bicara yang baik dan indah untuk melembutkan hati kanak-kanak

6) Hadis ini juga menggambarkan betapa Baginda s.a.w memiliki akhlak yang sangat mulia, sempurna dan amat tawadhok. [3]

Berkata Mulla (Bahasa Urdu, sama dengan Allamah dalam Bahasa Arab) Ali al-Qari rahimahullah berkata,

Hadis ini menunjukkan harus bergurau dengan anak-anak kecil untuk mengubat dukacitanya.

Kesimpulan

Sekiranya gurau senda yang dilakukan adalah bertujuan untuk menghilangkan kesedihan, mengubat hati yang berduka, dan yang seumpamanya maka ia adalah mustahab dan dibenarkan selagi mana tiada padanya unsur-unsur yang menyalahi syariat seperti menipu, menyebabkan permusuhan dan sebaginya.




[1] Dinukil oleh Imam Tirmizi dalam kitab as-Syamail
[2] Di dalam kitab syarahnya kepada as-Syamail
[3] Di dalam Syarah Muslim
[4] Di dalam Jam’u al-Wasail

Isnin, 17 Mei 2010

Apabila Ulamak Islam DiLaknat Dan Didoakan Masuk Ke Neraka Jahannam

Assalamu'alaikum warahmatuLlah.


Apabila sudah diberi nasihat berkali-kali oleh ramai ahli dalam Facebook. Namun malangnya nasihat sudah tidak diendahkan. Malahan dengan sikap sombong dia tetap membuat pelbagai tuduhan sesat ke atas Ulamak dan Umat Islam yang tidak sependapat dengannya. Maka terpaksalah didedahkan tulisan tuduhan individu ini.


Beliau bernama Muhammad Nasri Azhar.



Dan antara pengikut yang pro kepada wahhabi dan membuat beberapa groupfans di FACEBOOK. Antaranya KIAMAT SUDAH HAMPIR, AHLI SUNNAH dan MENJAWAB SALAH FAHAM TERHADAP WAHABI Jangan terkejut, walaupun dia mengaku mengikut al Quran dan Sunnah. Namun dia berani melaknat seorang Ulamak Islam dan mendoakannya masuk ke neraka.




Bukti dia melaknat seorang Ulamak Islam dan mendoakan agar Habib Ali Al Jufri ditempatkan di dalam neraka Jahannam :




Bahkan juga berani menuduh Profesor Dr Haron Din sebagai ULAMAK SIHIR !. Buktinya :



Perhatikanlah baik-baik. Di masa ini sudah pun ada manusia sebegini yang berani melaknat Ulamak Islam, serta menghukum ulamak sebagai ulamak sihir. Alangkah bahayanya ajaran Wahhabi. Sudah wajarlah ia perlu dibanteras di Malaysia.

Rabu, 12 Mei 2010

Group Di Facebook Yang Membahayakan

Assalamu'alaikum,

Setelah berkecimpung di dalam arena Facebook yang serba meluas tanpa ada kawalan (sebagaimana juga laman-laman blog/web) yang boleh ditulis oleh sesiapa sahaja. Didapati terdapat juga group fans yang dalam diam/halus membawa fahaman Wahhabi tetapi dengan motto yang pastinya memikat siapa sahaja. Seperti groupfans ini :

1. ♥ LA TAHZAN, Jalan pulang ke pangkuan Allah terlalu luas!

2. AHLI SUNNAH

3. SUNNAH

4. HARI KIAMAT SUDAH HAMPIR



Apa yang menarik, artikel-artikel yang bercorak percintaan amat menarik perhatian remaja akan disajikan. Dan biasanya secara perlahan-lahan akan diperkenalkan dengan tokoh-tokoh ulamak wahhabi yang terlibat dalam menghukum sesat dan kafir kepada Umat Islam. Terdapat beberapa ahli yang telah di'ban' hanya kerana menegur admin di Group Fans ini kerana menjelaskan dan membongkar kegiatan mereka.

Sebagai contoh :

Group Fans yang pertama iaitu :♥ LA TAHZAN, Jalan pulang ke pangkuan Allah terlalu luas! telah memberikan link group ini ke laman web RASUL DAHRI.

Rasul Dahri telah menulis satu buku di dalam kandungan bukunya mengandungi isi yang mengkafirkan ulamak dan umat Islam yang mengikut Asya'iroh.

Buktinya :
























Antara isinya (sila klik untuk besarkan imej) :


























Dalam tulisan yang digariskan merah menyebutkan :
Termasuk dalam kategori ini (bid'ah i'tikad) sebagaimana yang disepakati oleh ulamak Ahli Sunnah Wal - Jama'ah [tidak tahulah ulamak mana yang beliau sandarkan hukuman ini] yang berpegang dengan manhaj Salaf as Soleh ialah : Syiah, Khawarij, Jahamiyyah, Murjiah, Muktazilah, Asya'ariyyah dan semua cabang-cabang dari firqah-firqah sesat ini. Mereka ini adalah golongan yang bid'ah akidahnya yang mana di akhirat kelak akan dikekalkan di dalam neraka.

Adakah ini salah satu cara terbaharu untuk membawa fahaman Rasul Dahri yang menghukum kafir kepada Asya'iroh ? Juga membawa fahaman wahhabi ekstrim yang lain ?

Seorang pelajar bernama Muhammad Nasri Azhar yang menjadi admin AHLI SUNNAH dan HARI KIAMAT SUDAH HAMPIR menghukum ulamak tasawwuf sebagai zindiq dan majhul. Malah ada satu pendapatnya yang ekstrim menghukum sesat kepada Salafussoleh/Ulamak Islam yang mentakwilkan ayat mutasyabihat.

Buktinya (sila klik untuk besarkan):


















Antara Salafussoleh dan Ulamak Islam yang mentakwilkan ayat mutasyabihat :

1. Imam Malik dan Auza’i r.a.-yang mana mereka menta’wilkan ayat-ayat mutasyabihat dalam kondisi-kondisi tertentu:
bahawa, ta’wil bagi nuzul (turunnya) Allah s.w.t. ada dua ta’wil. Salah satunya (ta’wil Imam Malik r.a.) ialah: turutnya rahmat Allah s.w.t. urusan dan para malaikatNya…”
(Syarah Sahih Muslim 6/36-37)

2. Imam Ad-Dhihak r.a. dan Abu Ubaidah r.a. menta’wilkan firman Allah s.w.t.:
“Setiap benda akan musnah kecuali WajahNya”. Wajah Allah s.w.t. dalam ayat tersebut bermaksud: ZatNya.
(Daf’u Syibahu At-Tasybih oleh Imam Ibn Jauzi: 31).

3. Telah diriwayatkan secara ma’thur bahawa tafsiran sebahagian salafus soleh, terhadap ayat “Dia sentiasa bersama kamu di mana kamu berada” dengan makna, bersama makhluk dengan ilmuNya (bukan dengan zatNya).” (Dr Yusuf Al Qardhawi, Fusulun fil Aqidah: 84).

4. Dalam ayat
“Dan langit itu Kami (Allah) dirikan dengan ayydin (tangan-tangan dalam Bahasa Melayu)…”
Imam Ibn Abbas r.a. menta’wilkan aydin dengan makna kekuasaan. (Tafsir At-Tabari: 27/6)

5. Dalam ayat berbunyi: “Telah datang Tuhanmu” (Al-Fajr: 22), Imam Ahmad bin Hanbal r.a. telah menta’wilkannya dengan makna: telah datang pahala (dari) Tuhanmu” (Al-Bidayah wa An-Nihayah: 10/328)

6. Imam Mujahid r.a. menta’wilkan perkataan “janbi” (dalam maksud bahasa bererti pada sisi) Allah s.w.t., dalam ayat surah Az-Zumar ayat 56, dengan maksud: perintah Allah s.w.t.. (Tafsir At-Tabari 24/13).

7. Daripada Abu Hurairah RadiyaLlahu 'anhu bahawa RasuluLLah sallaLlahu 'alaihi wasallam bersabda :

يضحك ألله إلى رجلين يقتل أحدهما الأخر كلاهما يدخل ألجنة, فقالو كيف يا رسول الله؟ قال : يقاتل هذا في سبيل الله فيستشهد ثم يتو ب الله على القاتل فيسلم فيقاتل في سبيل الله فيستشهد

Ertinya : ALlah merahmati dua orang lelaki; salah seorang di antara keduanya membunuh yang lain, lalu kedua-duanya masuk syurga. Para sahabat radiyaLlahu 'anhum bertanya, Bagaimanakah boleh jadi begitu , wahai RasuluLlah?" Jawab baginda sallaLlahu 'alaihi wasallam, "Lelaki ini telah terbunuh pada jalan Allah, maka dia mati syahid. Kemudian si pembunuh tadi bertaubat kepada ALlah dan memeluk Islam, maka ALlah menerima taubatnya. Selepas itu dia pergi berperang pada jalan ALlah, maka dia mati syahid.


Imam al Bukhari telah mentakwilkan perkataan الضحك yang pada bahasa adalah ketawa dengan makna الرحمة rahmat (Al Asma' wa As Sifat, H 470, Dar Ihya' Al Turath al Arabi. Fath al Bari bi Syarh Sohih Al Bukhari Jilid 6 H : 123-124. Sahih Muslim bi Syarh Imam An Nawawi Jilid 15 H : 32-33.


Peringatan : Berhati-hatilah dalam memilih group fans di Facebook. Tidak mahulah suatu hari nanti sesama sendiri, keluarga, saudara, kawan-kawan menghukum bid'ah sesat/ahli neraka/kafir. Na'uzubiLlahi min zalik. Diharap dapat sebarkan pendedahan ini kepada umat Islam agar tidak terjerat dengan fahaman yang ekstrim ini.

Selasa, 11 Mei 2010

Kesimpulan Penjelasan Tentang As-Sawad Al-A'zhom Bab 2

Oleh : Ustaz Mukhlis

Kita juga boleh merujuk syarah Imam As-Sindi dalam perbahasan ini. Dalam hadith riwayat Sunan Ibn Majah, Rasulullah –shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:


إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ ‏بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ ‏

Maksudnya:

Sesungguhnya umatku tidak akan berhimpun dalam kesesatan. Jika kamu melihat perselisihan, maka hendaklah kamu mengikut As-Sawad Al-A’zhom.
[Sunan Ibn Majah no: 3940]



Imam As-Sindi berkata dalam syarah hadith ini:



قَوْله ( بِالسَّوَادِ الْأَعْظَم ) ‏

أَيْ بِالْجَمَاعَةِ الْكَثِيرَة فَإِنَّ اِتِّفَاقهمْ أَقْرَب إِلَى الْإِجْمَاع قَالَ السُّيُوطِيُّ فِي تَفْسِير السَّوَاد الْأَعْظَم أَيْ جَمَاعَة النَّاس وَمُعْظَمهمْ الَّذِينَ يَجْتَمِعُونَ عَلَى سُلُوك الْمَنْهَج الْمُسْتَقِيم

Maksudnya:

“Sabda Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-: ((dengan As-Sawad Al-A’zhom))



Iaitu: Suatu jamaah yang ramai. Sesungguhnya, kesepakatan mereka (para ulama’ yang ramai tersebut) dekat dengan Ijma’. Imam As-Suyuti r.a. berkata pada tafsiran bagi As-Sawad Al-A’zhom iaitulah: Jamaah manusia yang mana kebanyakan mereka yang berhimpun dalam suatu jalan metodologi yang lurus (manhaj keilmuan yang benar). [Syarah Sunan Ibn Majah oleh Imam As-Sindi]

Ini menunjukkan bahawasanya As-Sawad Al-A’zhom adalah suatu jumlah bilangan yang ramai yang berpegang dengan manhaj yang sahih. Maka, boleh dikatakan, manhaj tersebut merujuk kepada sebuah aliran arus perdana yang dipegang oleh ramai orang. Sudah pasti, ramai orang tersebut merujuk kepada ahli ilmu atau para ulama’ yang menyusun, memegang dan menjaga manhaj yang lurus tersebut lalu diikuti oleh ramai masyarakat awam. Namun, ukurannya yang utama adalah para ramainya ahli ilmu dan para ulama’ yang berpegang kepada sesuatu manhaj keilmuan dan kefahaman terhadap agama.

Imam Ibn Al-Athir juga berkata dalam mensyarahkan perkataan As-Sawad Al-A’zhom dalam hadith tersebut:

وفيه [ عليكم بالسَّوادِ الأعْظَم ] أي جُمْلة النَّاس ومُعْظَمهم الذين يجتمعون على طاعة السُّلطان وسُلُوك النَّهج المُسْتقيم

Maksudnya:

“Dan yang dimaksudkan dengan ((Alaikum bi as-Sawadul A'zham)) adalah sekumpulan besar manusia yang berhimpun di dalam mentaati sultan (pemimpin) dan berjalan di atas jalan yang benar (lurus).
[An-Nihayah Fi Ghoribil Hadis: 2/1029]


Menurut Imam Ibn Al-Athir juga, As-Sawad Al-A’zhom berkaitan dengan kebanyakan manusia yang berhimpun dalam pegangan manhaj yang lurus. Jadi, ia juga merujuk kepada sebuah aliran atau manhaj arus perdana atau mainstream yang dipegang oleh majoriti ulama’ Islam sepanjang zaman.

Dalam institusi ulama’ Islam dan perkembangan bidang keilmuan Islam, konsep As-Sawad Al-A’zhom sangat jelas khususnya bagi merujuk kepada golongan yang berpegang teguh dengan manhaj sahih dalam berinteraksi dengan nas-nas agama dan golongan yang berada di atas landasan kebenaran sejak zaman berzaman.

Penjelasan terhadap Perkataan Imam Ibn Rahuyah

Ada sesetengah pihak mendakwa perkataan Ibn Rahuyah menolak konsep As-Sawad Al-A’zhom itu mengikut jumlah ramainya golongan. Mereka menukilkan perkataannya yang berkata:

Ishaq (bin Rahuyah) berkata (sebagaimana yang dibawakan oleh Imam asy-Syathibi):

لو سألت الجهال عن السواد الأعظم لقالوا: جماعة الناس ولا يعلمون أن الجماعة عالم متمسك بأثر النبي صلى الله عليه و سلم وطريقه فمن كان معه وتبعه فهو الجماعة

Maksudnya:

Jika kamu bertanya kepada orang-orang yang jahil berkenaan maksud as-Sawad Al-A’zhom, sudah tentu mereka akan menjawab: majoriti/himpunan manusia, dan sebenarnya mereka tidak mengetahui bahawa al-Jama’ah itu adalah seorang alim yang berpegang teguh kepada atsar (jejak/prinsip) Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa Sallam- serta golongan yang sentiasa bersama beliau, dan mereka yang mengikutinya adalah al-Jama’ah.
[Al-I’thisham 3/300-315 pada masalah ke-17, cetakan Maktabah At-Tauhid]


Dalam perkataan Imam Ibn Rahuyah ini sedikit pun tidak mengingkari pendirian dan maksud bahawasanya As-Sawad Al-A’zhom adalah berkaitan dengan majoriti ulama’ Islam yang memimpin majoriti umat Islam kerana menurut Ibn Rahuyah, orang-orang jahil mengatakan bahawa As-Sawad Al-A’zhom adalah jemaah manusia secara umum. Sedangkan, apa yang kita tegaskan, bilangan yang ramai merujuk kepada jumlah ramainya para ulama’ yang berpegang dengan sesuatu manhaj, bukan merujuk kepada jumlah ramainya manusia termasuklah bilangan orang awam yang jahil.

Maka, lihatlah Imam Ibn Rahuyah menyebut setelah itu bahawasanya, Al-Jamaah adalah dengan mengikut seorang sahaja yang berilmu yang berpegang dengan Athar Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, apatah lagi jika mereka mengikut majoriti ulama’ Islam yang berilmu dan berpegang dengan Athar Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam? Maka, jumlah ramainya para ulama’ yang berpegang dengan sesuatu manhaj itu juga adalah ukuran Al-Jama’ah yang lebih utama berbanding hanya satu dua individu yang terpinggir daripada majoriti ulama’ Islam sejak zaman berzaman.

Hal ini sangat jelas berdasarkan perkataan Imam As-Syatibi sendiri yang menyebut setelah itu:

فانظر في حكايته تتبين غلط من ظن أن الجماعة هي جماعة الناس وإن لم يكن فيهم عالم وهو وهم العوام لا فهم العلماء فليثبت الموفق في هذه المزلة قدمه لئلا يضل عن سواء السبيل ولا توفيق إلا بالله

Maksudnya:

Maka lihatlah, dari sini kita dapat mengetahui kesalahan orang yang menyangka bahawa Al-Jama’ah itu adalah kelompok (atau majoriti) manusia, walaupun tidak terdapat seorang alim pun dalam kelompok mereka. Ia hanyalah prasangka orang-orang awam, bukannya kefahaman para ulama. Dari itu, kita perlulah memperteguhkan pendirian kita supaya tidak tergelincir sebagaimana mereka dan supaya tidak tersesat memasuki jalan yang buruk. Tiada taufiq untuk itu melainkan hanya dari Allah.
[Al-I’thisham 3/300-315 pada masalah ke-17, cetakan Maktabah At-Tauhid]


Lihatlah betapa Imam As-Syatibi mengatakan ukuran “majoriti” yang salah jika melihat dari sudut ramainya golongan “awam” yang tiada ulama’ dalam kalangan mereka. Sedangkan, “majoriti” yang ditegaskan oleh kita dan para ulama’ sebelum ini adalah “majoriti ulama’” Islam itu sendiri, yang memimpin majoriti umat Islam dalam bidang agama. Maka, jika majoriti atau ramai bilangan itu merujuk kepada para ulama’, lalu mereka diikuti oleh majoriti umat Islam, maka itu adalah suatu yang dipersetujui oleh Imam As-Syatibi sendiri dalam kitab Al-I’thisham tersebut.

Bagi pengkaji yang adil, dia boleh membaca ungkapan Imam As-Syatibi sebelum beliau meriwayatkan perkataan Ibn Rahuyah tersebut. Lebih adil dan teliti lagi, rujuklah kitab Al-I’tisham terus, bukan rujuk ringkasan (Mukhtasar Al-I’thisham) apa lagi versi terjemahan. Lihat sendiri dengan mata keilmuan di mana Imam As-Syathibi r.a. berkata:

وذلك أن الجميع اتفقوا على اعتبار أهل العلم والاجتهاد، وسواء ضموا إليهم العوام أم لا، فإن لم يُضَمُّوا إليهم فلا إشكال أن الاعتبار إنما هو بالسواد الأعظم من العلماء المعتبر اجتهادهم، فمن شذَّ عنهم فمات فميتته جاهلية، وإن ضموا إليهم العوام فبحكم التبع لأنهم غير عارفين بالشريعة، فلابد من رجوعهم في دينهم إلى العلماء فإنهم لو تمالؤا على مخالفة العلماء فيما حدُّوا لهم لكانوا هم الغالب، والسواد الأعظم في ظاهر الأمر، لقلة العلماء وكثرة الجهال، فلا يقول أحد: أنّ اتباع جماعة العوام هو المطلوب، وأن العلماء هم المفارقون للجماعة والمذمومون في الحديث، بل الأمر بالعكس، وإن العلماء هم السواد الأعظم وإن قلوا، والعوام هم المفارقون للجماعة إن خالفوا، فإن وافقوا فهو الواجب عليهم.

Maksudnya:

Sesungguhnya semua (kelima-lima perkataan tentang As-Sawad Al-A’zhom) sepakat bahawasanya yang diukur adalah Ahli Ilmu dan Ijtihad, samada ianya merangkumi golongan awam ataupun tidak. Jika tidak merangkumi orang-orang awam, maka tidak ada keraguan lagi bahawasanya ukuran As-Sawad Al-A’zhom adalah merujuk kepada para ulama’ yang diakui ijtihad mereka. Sesiapa yang terasing daripada mereka (para ulama’ muktabar), maka dia mati dalam keadaan jahiliyyah. Jika dirangkumkan juga orang-orang awam (dalam mafhum As-Sawad Al-A’zhom), maka ia kerana hukum mengikut As-Sawad Al-A’zhom (iaitu, orang-orang awam mengikut majoriti para ulama’ yang muktabar tersebut). Ini kerana, mereka tidak mengetahui tentang syariah. Maka, hendaklah mereka (orang-orang awam) merujuk kepada para ulama’ dalam urusan agama mereka. Jika mereka (orang-orang awam) beramai-ramai ingin menyalahi ulama’ terhadap batasan yang telah mereka bataskan (dalam manhaj dan disiplin ilmu), maka nescaya merekalah yang menjadi golongan yang mendominasi, dan As-Sawad Al-A’zhom pada zahirnya, kerana kurangnya para ulama’ dan ramainya orang-orang jahil. Namun, tidak ada seorang pun berkata bahawasanya mengikut jamaah awam adalah yang dituntut (kerana mereka ramai) sedangkan para ulama’ pula terkeluar daripada jemaah dan dicela dalam hadith ini. Bahkan, apa yang betula dalah sebaliknya. Para ulama’ tetap As-Sawad Al-A’zhom walaupun sedikit (berbanding orang-orang awam) sedangkan orang-orang awam-lah yang keluar daripada jemaah jika mereka menyalahi para ulama’ (aliran arus perdana dalam kalangan ulama’). Jika mereka mengikut manhaj para ulama’, maka itulah kewajipan mereka.
[Al-I’thisham 3/300-315 pada masalah ke-17, cetakan Maktabah At-Tauhid]


Jelaslah di sisi Imam As-Syathibi sendiri, jika ukuran ramai itu merujuk kepada para ulama’, maka itulah maksud sebenar As-Sawad Al-A’zhom. Beliau cuma menafikan jika orang-orang awam Islam yang lebih ramai daripada para ulama’ dalam sesuatu zaman, lalu mereka (orang-orang awam) menyalahi manhaj para ulama’ (arus perdana di sisi ulama’ muktabar), kemudian As-Sawad Al-A’zhom dinilai pada banyaknya orang-orang awam berbanding para ulama’. Ukuran beginilah yang salah menurut beliau. Tetapi, jika sesama para ulama’, sudah semestinyalah ukuran majoriti ulama’ merupakan suatu ukuran yang benar berbanding keterasingan mereka yang menyalahi majoriti ulama’ tersebut dalam sesuatu aliran, pegangan dan kefahaman yang usul terhadap agama Islam.

Oleh sebab itulah juga, kita tegaskan bahawasanya, dalam bidang aqidah misalnya, Al-Asya’irah dan Al-Maturidiyyah (di samping sebahagian Hanabilah yang berpegang dengan aqidah murni Imam Ahmad dan tidak terlibat dengan fahaman Tajsim) adalah Al-Jama’ah atau As-Sawad Al-A’zhom. Bahkan dalam kelompok merekalah menghuninya majoriti ulama’ Islam sepanjang zaman. Siapakah Imam Al-Baihaqi, Imam Al-Baqillani, Imam Al-Bulqini, Imamul Haramain Al-Juwaini, Imam Al-Ghazali, Imam Al-Razi, Imam Ibn Asakir, Imam Ibn Hajar Al-Asqollani, Imam An-Nawawi, Imam As-Subki dan sebagainya yang terdiri dari kalangan Al-Asya’irah yang merupakan As-Sawad Al-A’zhom sebagaimana yang kita tegaskan, jika mereka bukan dari kalangan para ulama’? Jadi, benarlah menurut kita, majoriti itu dinilai dari sudut ramainya para ulama’ yang berpegang dengan sesuatu manhaj sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibn Asakir dalam Tabyiin Kazb Al-Muftari yang akan disentuh kemudian.

Ada sesetengah pihak juga merujuk pada zaman Imam Ahmad r.a. di mana beliau dikatakan bersendirian dalam berpegang dengan aqidah yang benar. Ini suatu perkataan dusta terhadap sejarah murni Islam. Ketika berlaku fitnah tersebarnya fahaman Al-Qur’an adalah makhluk, Imam Ahmad r.a. adalah antara yang paling menonjol dalam menolaknya di hadapan pemerintah. Oleh sebab itulah, beliau disiksa. Namun, pendirian majoriti ulama’ Islam pada ketika itu juga tetap menolak fahaman Al-Qur’an makhluk yang merupakan fahaman Mu’tazilah. Bahkan, ada juga sebahagian ulama’ yang bangkit secara terbuka menentang fahaman tersebut, sebelum Imam Ahmad r.a. lagi. Antara mereka adalah, Al-Muhaddith Affan bin Muslim Al-Kufi, Al-Imam Al-Muhaddith Abu Na’im Al-Fadhl, Imam Al-Khaza’ie, Imam Abdul A’la Al-Ghassani As-Syami, Imam Muhammad bin Nuh Al-Maruzi, Imam Nu’aim bin Hamad, Imam Al-Buwaithi (murid Imam As-Syafi’e r.a.) dan sebagainya yang mati dalam penjara ketika mempertahankan aqidah murni Islam [rujuk Bara’ah Al-Asy’ariyyin: m/s 32]

Cuma, kebanyakan ulama’ lain tidak menzahirkan pertentangan secara terbuka seperti para ulama’ tersebut. Jadi, tidak boleh dikatakan hanya Imam Ahmad r.a. seorang sahaja, yang berpegang dengan aqidah murni Islam pada ketika itu dan mempertahankannya, kerana masih ramai lagi ulama’ yang berpegang dengannya khususnya murid-murid kepada Imam Abu Hanifah r.a., murid-murid kepada Imam Malik r.a., murid-murid kepada Imam As-Syafi’e’ r.a. dan sebagainya.

Isnin, 10 Mei 2010

Kesimpulan Penjelasan Tentang “As-Sawad Al-A’zhom” Bab 1

Oleh : Ustaz Mukhlis


Pendahuluan


Allah s.w.t. sentiasa merahmati umat Islam dengan menjaga ketulenan dan keaslian ajaran agama mereka sepanjang zaman. Oleh yang demikian, ketika Allah s.w.t. menyampaikan wahyu Al-Qur’an kepada Rasulullah –shollallahu ‘alahi wasallam-, Allah s.w.t. juga menegaskan bahawasanya Dia juga akan menjaga Al-Qur’an tersebut. Antara cara Allah s.w.t. menjaga Al-Qur’an adalah dengan melahirkan dalam setiap generasi umat Islam, ada para ulama’ dan ahli ilmu yang sentiasa menjaganya dari sudut lafaz mahupun maknanya.

Imam Al-Razi r.a. menyebut dalam tafsirnya terhadap ayat ke-9 daripada Surah Al-Hijr, bahawasanya, antara cara Allah s.w.t. menjaga Al-Qur’an adalah dengan menjadikan para sahabat r.a. menyusun Al-Qur’an dalam satu Mashaf. Begitulah seterusnya, di mana muncul ramai ulama’ muktabar terus menjaga isi kandungan Al-Qur’an dari sudut lafaz mahupun maknanya. Penjagaan terhadap sumber dan kefahaman sahih Islam bukan terbatas kepada sesuatu zaman sahaja, tetapi akan terus terpelihara sehinggalah akhir zaman.

Antara konsep yang wujud dalam institusi keilmuan Islam yang menjaga kefahaman sahih terhadap agama Islam melalui sumbernya adalah konsep As-Sawad Al-A’zhom. Konsep ini adalah suatu konsep yang disebutkan sendiri oleh Rasulullah –shollallahu ‘alaihi wasallam-. Sesetengah pihak cuba memalingkan konsep ini daripada maknanya yang asal kerana mereka sudah menyalahi konsep itu sendiri. Mereka cuba menjadikan keganjilan (syaz) mereka sebagai kebenaran dan majoriti ulama’ Islam yang berbeza dengan mereka sebagai golongan yang sesat.


Penulis yang faqir telah menyusun sebuah risalah yang mengandungi perbahasan terperinci mengenai As-Sawad Al-A’zhom dalam sebuah siri perbahasan berjudul “Ilmu Warisan Nabawi Merentasi Zaman”. Ini kerana, ianya merupakan suatu konsep yang perlu difahami menerusi perkembangan bidang keilmuan Islam di sisi para ulama’ secara menyeluruh. Namun di sini, disebabkan permintaan beberapa teman yang jujur dalam inginkan penjelasan, penulis mengambil sebahagian tulisan tersebut dan meringkaskannya serta menambah beberapa perbahasan bagi menumpukan topik As-Sawad Al-A’zhom ini secara lebih khusus. Para pembaca boleh merujuk kepada tulisan asal “Ilmu Warisan Nabawi Merentasi Zaman (siri kedua)” yang berjudul: “As-Sawad Al-A’zhom dalam Tradisi Keilmuan Islam”.

Begitu juga dengan tulisan-tulisan sebelum itu yang mungkin mengandungi banyak kelemahan yang perlu diperbaiki. Antaranya adalah seperti tulisan berjudul Mafhum Al-Jamaah dalam Neraca As-Sunnah.

As-Sawad Al-A’zhom dalam Institusi Ulama’ Islam


Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- mewariskan sumber agama iaitulah Al-Qur’an dan As-Sunnah dan mewariskan juga manhaj dalam berinteraksi dengan nas-nas Islam tersebut kepada para sahabat r.a. [rujuk hadith tentang Saidina Mu’az bin Jabal r.a. yang diutuskan ke Yaman]. Maka, para sahabat r.a. mewariskannya pula kepada para ulama’ pada generasi setelah mereka sehingggalah ianya diwarisi secara silsilah dalam suatu tradisi pembelajaran Islam yang sempurna sebagaimana telah disebutkan tadi.

Maka, antara ciri-ciri keistimewaan umat Islam adalah, para ulama’ yang mewarisi ilmu nabawi dengan jalan warisan yang muktabar (sistem talaqqi bersanad) tidak akan bersepakat dalam kesesatan. Janji ini telah dijelaskan sendiri oleh Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-. Bahkan, ketika berlakunya perpecahan dalam perkara-perkara usul, maka kebenaran tetap bersama majoriti ulama’ Islam yang mewarisi ilmu nabawi dengan manhaj pengajian ilmu agama yang sahih. Golongan majoriti ulama’ Islam tersebutlah dikenali sebagai As-Sawad Al-A’zhom atau Ahlus-Sunnah wal Jamaah.



Jika kita singkapi kitab-kitab sejarah, Tabaqat, Tarikh dan sebagainya yang menceritakan tentang perkembangan institusi ulama’ dalam masyarakat Islam, maka kita akan dapati majoriti ulama’ berpegang teguh dengan dasar kesepakatan asas (usul) yang sama dan tidak saling bertentangan antara mereka secara meluas. Perselisihan hanya pendapat dan ikhtilaf berlaku dalam perkara-perkara cabang atau bersumberkan sumber yang zhonni (tidak muktamad) samada dalam aqidah mahupun syariat. Pertembungan kuat dalam perkara usul yang berlaku dalam wacana ilmiah adalah melibatkan golongan As-Sawad Al-A’zhom dengan golongan pinggiran (syaz) yang sesat atau terseleweng daripada manhaj ilmiah Islam yang sebenar, di sepanjang zaman.

As-Sawad Al-A’zhom dalam Neraca As-Sunnah
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:



لا يجمع الله هذه الأمة على الضلالة أبدا…يد الله على الجماعة فاتبعوا السواد الأعظم فإنه من شذ شذ في النار



Maksudnya: “Tidak akan Allah himpunkan umat ini ke dalam kesesatan selama-lamanya. Yadd (bantuan) Allah di atas Al-Jamaah. Maka ikutilah As-Sawad Al-A’zhom kerana sesiapa yang syaz (terasing) bererti terasing dalam neraka.”


[Hadith riwayat At-Tirmizi, Al-Hakim (no:358), At-Tabrani (Al-Mu’jam Al-Kabir: no: 13461), Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa As-Sifat dan sebagainya]

Sheikhuna (guru kami) Al-Allamah Al-Muhaddith As-Sayyid Muhammad bin Ibrahim Al-Kattani hafizahullah berkata dalam kitab beliau Ibra’ Az-Zimmah (m/s: 41):

Jika seseorang berkata:
“Tidak semestinya maksud As-Sawad Al-A’zhom itu adalah banyak dan dominan. Bahkan, boleh jadi juga maknanya dominasi kebenaran walaupun kurang orang yang mempertahankannya”.

Maka, saya (Sheikh Ibrahim) berkata: “Sesungguhnya hadith-hadith dengan kandungan As-Sibaq (perkataan sebelumnya) dan As-Siyaq (konteks) menunjukkan makna As-Sawad adalah: Al-Ummah (jumlah bilangan yang ramai)”.
- tamat nukilan -



Antara petunjuk dan konteks yang menunjukkan kepada jumlah yang ramai adalah:


Dalam hadith riwayat Al-Hakim, Abu Nu’aim dan sebagainya tadi menyebut di hujung hadith tersebut yang bermaksud:

“…Sesungguhnya sesiapa yang syaz (terasing) bererti terasing dalam neraka”.


Perkataan “…sesiapa yang terasing…” sudah jelas menunjukkan maksud As-Sawad Al-A’zhom adalah lawan bagi keterasingan tersebut iaitulah bilangan yang ramai. Namun, kita akan sebutkan selepas ini bahawa, ukuran “bilangan yang ramai” pada setiap zaman dalam hadith tersebut tidaklah mutlak kepada seluruh manusia termasuk orang-orang kafir dan bukan juga multak kepada orang-orang awam Islam. Hal ini akan dibincangkan kemudian, insya Allah.

Dalam hadith yang lain, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda yang bermaksud:

“…Aku tidak menyembunyikan sesuatupun (daripada kebenaran). Hendaklah kamu semua bertaqwa dan bersama-sama dengan jamaah. Janganlah kamu berpecah (mengikut golongan yang terkeluar daripada jamaah). Sesungguhnya (dengan keluar dari jamaah) itulah kesesatan. Sesungguhnya Allah s.w.t. tidak akan menghimpun umat Muhammad dalam kesesatan”
[Hadith riwayat At-Tabrani]

Hadith ini menunjukkan maksud As-Sawad Al-A’zhom adalah Al-Jama’ah. Al-Jama’ah sudah tentu merujuk kepada suatu golongan yang ramai, terutamanya jika kita gandingkan dengan petunjuk pertama tadi di mana lawan bagi As-Sawad Al-A’zhom adalah syaz atau keterasingan.

Hal ini lebih jelas dalam hadith lain, di mana Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:


عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنْ ‏ ‏الِاثْنَيْنِ أَبْعَدُ مَنْ أَرَادَ ‏ ‏بُحْبُوحَةَ ‏ ‏الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمْ الْجَمَاعَةَ


Maksudnya:

“…Hendaklah kamu menyertai jamaah dan janganlah kamu berpecah (mengikut golongan yang tersesat). Sesungguhnya syaitan bersama yang satu sedangkan ia dengan yang dua lebih jauh (berbanding dengan yang satu). Sesiapa yang mahu menghuni taman syurga, maka hendaklah dia mengikut jamaah”



[Hadith riwayat Ahmad, At-Tirmizi (no: 2091) dan Al-Hakim]


Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda lagi:

عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنْ ‏ ‏الِاثْنَيْنِ أَبْعَدُ

Maksudnya:

“Hendaklah kamu bersama-sama dengan Al-Jamaah. Dan janganlah kamu berpecah-belah. Sesungguhnya, syaitan itu berserta dengan yang satu, sedangkan dia lebih jauh daripada yang dua (berbanding yang satu tersebut)”.

[Hadith ini riwayat At-Tirmizi (4/465) daripada jalan Saidina Umar r.a.. Diriwayatkan juga oleh Al-Hakim (1/197), Al-Baihaqi (7/91) dan Imam Ahmad (1/18 no: 114). Imam Al-Hakim berkata: “hadith ini sahih mengikut syarat Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim”]

Dalam hadith-hadith tersebut juga mengandungi isyarat yang jelas tentang bilangan yang ramai. Ia terzahir pada perkataan Al-Jamaah dan perkataan: ((وهو عن الإثنين أبعد الشيطان مع الواحد ))
(maksudnya: Syaitan bersama yang satu sedangkan dia lebih jauh darpada yang dua berbanding yang satu).

Ini suatu perumpamaan dalam bentuk nisbah, iaitu ((2:1)). Di mana, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- mengingatkan bahawasanya, syaitan itu akan bersama dengan yang satu berbanding yang dua orang. Maknanya, syaitan akan bersama-sama dengan minoriti berbanding yang majoriti. Ini menunjukkan jemaah yang dimaksudkan oleh Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- adalah golongan majoriti dalam kalangan ulama’ dan umat Islam. Oleh yang demikian juga, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- mengingatkan supaya tidak beserta dengan golongan pinggiran dan ganjil kerana syaitan bersama dengan golongan pinggiran.


Ketika membahaskan tentang kepentingan berpegang dengan Ahlus-Sunnah wal Jamaah, Imam Ibn Al-Jauzi r.a. juga ada meriwayatkan sebuah hadith dengan sanad yang bersambung kepada Rasulullah shollallahu ‘alahi wasallam:

اثنان خير من واحد وثلاثة خير من اثنين وأربعة خير من ثلاثة فعليكم بالجماعة فإن الله عز وجل لم يجمع أمتي إلا على الهدى

Maksudnya:

“Dua itu lebih baik daripada satu. Tiga itu lebih baik daripada dua. Empat itu lebih baik daripada tiga. Hendaklah kamu bersama dengan Al-Jama’ah kerana sesungguhnya Allah s.w.t. tidak akan menghimpunkan umatku melainkan di atas kebenaran.”
[hadith riwayat Imam Ahmad pada no: 20331 dan dikeluarkan juga oleh Imam Ibn Al-Jauzi dalam Talbis Iblis]

Ini menunjukkan kuantiti yang banyak dalam kalangan umat Islam khususnya dari kalangan ahli ilmu (ulama’) sangat berkait rapat dengan maksud Al-Jama’ah dan As-Sawad Al-A’zhom yang dijamin kebenaran mereka oleh Rasulullah shollallahu ‘alahi wasallam sendiri.

Hadith lain juga menyebut tentang kepentingan mengikut majoriti umat Islam dengan perkataan ((العامة )) iaitu yang umum [hadith riwayat Ahmad]. Adapun istilah am atau ammah digunakan dalam bermaksud, kebanyakan umat Islam yang dipimpin oleh majoriti ulama’ Islam.

Dalam hadith riwayat Ahmad tersebut juga menyebut bahawa, syaitan umpama serigala yang mencari mangsa kambingnya. Jadi, syaitan berpeluang menangkap kambing yang terpinggir dari kelompok kumpulannya. Perumpamaan ini adalah jelas menunjukkan, celaan terhadap golongan minoriti yang keluar daripada kelompok majoriti umat Islam khususnya dalam masalah usul termasuklah masalah aqidah Islam. Jadi, syaz dan minoriti dicela oleh Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dalam galakan supaya kita beserta dengan golongan majoriti umat Islam. Ukuran As-Sawad Al-A’zhom atau majoriti itu dinilai pada bilangan ahli ilmu umat Islam, bukan dari sudut orang awam kerana ijtima’ ummah (kesepakatan ummah) itu merujuk kepada kesepakatan ulama’.

Khamis, 6 Mei 2010

Benarkah IbuBapa RasuluLlah sallaLlahu 'alaihi wasallam Musyrik Dan Berada Di Neraka ? Bab Akhir

Sedangkan pendapat yang digembar gemburkan oleh orang yang tidak sependapat adalah disebabkan ada dua hadith ahad yang berlawanan dengan kandungan ayat-ayat qat'ie sebagaimana disebutkan. Dua hadith itu adalah riwayat Muslim iaitu :

Pertama :

RasuluLlah sallaLLahu 'alaihi wasallam bersabda :

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : (استاذنت ربي أن أستغفر لأمي فلم يأذن لي, وأستأذنته أن أزور قبرها فأذن لي ) رواه مسلم

"Aku meminta iin kepada Tuhanku untuk memohonkan ampun bagi ibuku, maka Dia tidak mengizinkanku. Dan, aku meminta izin untuk menziarahi kuburnya, maka Dia mengizinkanku.
(Hadith riwayat Muslim, Sahih Muslim, vol 2, hlm 671)

Kedua :

أن رجلا قال : يا رسول الله, أين أبي ؟ قال : في النار. فلما قضى دعاه. فقال : إن أبي و أباك في النار.

رواه مسلم


"Seorang lelaki berkata : "Wahai RasuluLlah , dimanakah ayahku ? Baginda menjawab. "Di dalam neraka." Lalu setelah selesai (melakukan sesuatu), Baginda sallaLlahu 'alaihi wasallam memanggilnya lalu berkata, "Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di dalam neraka
(Hadith Riwayat Muslim, Sohih Muslim, vol 1, hlm 191)

Jawapan terhadap mereka sebagai berikut :

Jelaslah bahawa pada hadith pertama tidak terdapat pengungkapan yang tegas bahawa ibu Nabi Muhammad sallaLlahu 'alaihi wasallam di dalam neraka. Tidak mendapat izin untuk memohonkan ampun tidak bererti menunjukkan bahawa dia musyrik. Jika tidak, tentu tidak mungkin Tuhannya mengizinkan untuk menziarahi kuburnya. Sebab tidak boleh menziarahi kubur orang-orang musyrik dan berbakti kepada mereka. Sedangkan hadith kedua masih ditafsirkan, tetang apa yang Baginda sallaLlahu 'alaihi wasallam maksudkan mengenai bapa saudaranya (Abu Thalib) yang meninggal dunia setelah bi'tsah (waktu pertama kali Nabi sallaLlahu 'alaihi wasallam rasmi diutus dengan turunnya wahyu) dan tidak menyatakan keIslamannya. Orang Arab selalu menggunakan kata "ayah" untuk "bapa saudara" sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman Allah subahanahu wa Ta'ala tentang Nabi Ibrahim 'alaihissalam :


۞ وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَٲهِيمُ لِأَبِيهِ ءَازَرَ أَتَتَّخِذُ أَصۡنَامًا ءَالِهَةً‌ۖ إِنِّىٓ أَرَٮٰكَ وَقَوۡمَكَ فِى ضَلَـٰلٍ۬ مُّبِينٍ۬ (٧٤)

Ertinya : "Dan (ingatlah) di waktu Nabi Ibrahim 'alaihissalam berkata kepada bapanya, Aazar (Di antara muassirin ada yang berpendapat bahawa yang dimaksud dengan Abiihi (bapanya) ialah bapa saudaranya), "Patutkah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan?"

(Surah al An'am ayat 74)

Sedangkan ayah Nabi Ibrahim 'alaihissalam bernama Tarikh atau Tarih, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Kathir dan para ahli tafsir yang lain.

Apabila orang yang tidak sependapat tersebut, menolak penakwilan ini dan tetap ingin berpegang dengan zahir nas pada hadith yang kedua disebabkan tidak mendapat dukungan yang memuaskan daripada zahir hadith nas yang pertama. Maka kami menyatakan kepadanya bahawa berdasarkan pendapat dan hujah kalian; apabila kita memandang kedua-dua hadith tersebut sebagai dalil yang menunjukkan bahawa kedua-dua ibubapa Nabi sallaLlahu 'alaihi wasallam tidak selamat (daripada neraka) maka hal itu membuat kita menolak kedua-dua hadith tersebut sebab percanggahan kedua-duanya dengan ayat-ayat yang qot'ie dan tegas yang menetapkan pendapat para Imam dan para 'ulama sejak berabad-abad. Al Hafiz Al Khatib al Baghdadi telah menyatakan dengan tegas mengenai kaedah ini dengan mengatakan :
"Apabila orang yang thiqah dan terpercaya meriwayatkan sebuah khabar yang bersambung sanadnya, (khabar) itu ditolak atas beberapa perkara : bahawa ia menyalahi nas (ungkapan tegas) al Quran dan Sunnah yang mutawattir , sehingga diketahui tidak ada dasar baginya atau 'mansukh' (dipinda dan dibatalkan).
(Al Baghdadi, Al Faqih wa al Mutafaqqih, hlm 132)

Para ahli hadith seperti Imam Bukhari dan Al Madin menolak hadith,
"ALlah subahanahu wa ta'ala menciptakan tanah (bumi) pada hari Sabtu, menciptakan gunung-gunung di atasnya pada hari Ahad, menciptakan pohon pada hari isnin, menciptakan sesuatu yang dibenci (bencana dll) pada hari Selasa, menciptakan cahaya pada hari Rabu, menyebarkan binatang di muka bumi pada hari Khamis, dan menciptakan Nabi Adam 'alahissalam setelah asar pada hari Jumaat, pada akhir penciptaan, pada waktu terakhir dari waktu-waktu hari Jumaat di antara waktu Asar hingga malam hari
(Hadith Riwayat Muslim, Sohih Muslim, vol 4, hlm 2149)

Mereka menolaknya atas sebab ia bertentangan dengan al Quran sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Kathir di dalam tafsirnya terhadap firman Allah subahanahu wa Ta'ala :


إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِى سِتَّةِ أَيَّامٍ۬

"Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah subahanahu wa Ta'ala yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa
(Surah al A'raf ayat 54) (Ibnu Kathir, Tafsir Ibnu Kathir, vol 2, hlm 230)

Sekarang, silakan orang yang tidak sependapat untuk memilih mana yang ingin diambil; menggunakan takwil, dan ini lebih utama sebab tidak ada penolakan terhadap dalil-dalil atau menolak khabar-khabar ahad tersebut yang bertentangan dengan nas yang qat'ie dan tegas dari Al Quran al Karim dan ini adalah kaedah yang dihadapi oleh para imam terkemuka.

Walaubagaimanapun, dapat disimpulkan di sini bahawa pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang menyatakan bahawa kedua-dua ibubapa Nabi sallaLlahu 'alaihi wasallam itu selamat (tidak masuk neraka), begitu juga dengan seluruh nenek moyangnya. Semoga Allah subahanahu wa ta'ala menganugerahkan kepada kita cinta yag mendalam terhadap Baginda sallaLlahu 'alaihi wasallam dengan mengenal darjatnya (keturunan Nabi sallaLlahu 'alaihi wasallam) dengan baik. Akhirnya, sama-samalah kita berdoa kepada Allah subahanahu wa Ta'ala. "AlhamduliLlahi Robbil 'alamin (segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam)" Dan, Allah subahanahu wa Ta'ala Maha Tinggi dan lagi Maha Mengetahui.

Sumber : Prof Dr Ali Jum’ah, Penjelasan Terhadap Masalah-masalah KhilafiahAl Bayan – Al Qawin li Tashbih Ba’dhi al Mafahim, .2008, Penerbitan Dar Hakamah, Selangor

Selasa, 4 Mei 2010

Benarkah IbuBapa RasuluLlah sallaLlahu 'alaihi wasallam Musyrik Dan Berada Di Neraka ? Bab 1

Ada orang yang mengatakan bahawa kedua-dua ibubapa Nabi Muhammad sallaLlahu 'alaihi wasallam termasuk orang-orang musyrik dan mereka berada di neraka. Apakah perkataan ini benar?

Jawapan :

Sudah kami jelaskan sebelumnya bahawa cinta kepada Nabi Muhammad sallaLlahu 'alaihi wasallam termasuk ibadah pendekatan diri (kepada Allah subahanahu wa ta'ala) yang paling utama, dan kita sudah berbicara panjang tentang kecintaan ini. Cukup bagi kita untuk mengetahui kedudukannya dari hadith Nabi sallaLlahu 'alaihi wasallam yang menyatakan :

والذي نفس بيده لا يوءمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده و ولده والناس أجمعين

رواه البخاري و أحمد


"Demi zat yang diriku berada di dalam genggamanNya, tidak beriman (sempurna) seseorang dari kalian sampai aku lebih ia cintai daripada ibubapanya, anaknya dan manusia seluruhnya
(Hadith riwayat Ahmad, Musnad Ahmad, vol 3 hlm 177 dan Bukhari, Sohih BUkhari, vol 1, hlm 14)

Tidak diragukan lagi bahawa cinta berlawanan dengan hasrat menyakiti terhadap orang yang dicintai,. Demikian juga tidak diragukan bahawa membicarakan yang tidak baik tetang kedua ibubapa Baginda sallaLlahu 'alaihi wasallam menyakiti Nabi sallaLlahu 'alaihi wasallam. Allah subahanahu wa ta'ala berfirman :

‌ۚ وَٱلَّذِينَ يُؤۡذُونَ رَسُولَ ٱللَّهِ لَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ۬ (٦١)

"Dan orang-orang yang menyakiti RasuluLlah sallaLlahu 'alaihi wasallam itu, bagi mereka adalah azab yang pedih
(Surah At Taubah ayat 61)

إِنَّ ٱلَّذِينَ يُؤۡذُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُ ۥ لَعَنَہُمُ ٱللَّهُ فِى ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأَخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمۡ عَذَابً۬ا مُّهِينً۬ا (٥٧)

"Dan orang-0rang yang menyakiti Allah subahanahu wa Ta'ala dan RasulNya, Allah subahanahu wa Ta'ala akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya seksa yang menghinakan.
(surah Al Ahzab ayat 57)


يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ ءَاذَوۡاْ مُوسَىٰ فَبَرَّأَهُ ٱللَّهُ مِمَّا قَالُواْۚ وَكَانَ عِندَ ٱللَّهِ وَجِيہً۬ا (٦٩)


"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kami menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Nabi Musa 'alaihissalam ; maka Allah subahanahu wa ta'ala membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan, dan adalah dia itu mempunyai kedudukan yang terhormat (termulia) di sisi Allah subahanahu wa ta'ala"
(Surah al Ahzab ayat 69)

Al Qadhi (Qadhi Husain radiyaLlahu 'anhu) berkata,
"Dengan demikian, kita tidak boleh mengatakan sesuatu kecuali apa yang membuat redha Tuhan kita dan membuat redha Rasul kita Nabi sallaLlahu 'alaihi wasallam. Kita tidak boleh memberanikan diri terhadap kedudukannya yang mulia dan menyakiti Baginda sallaLlahu 'alaihi wasallam dengan perkataan yang tidak membuat Baginda sallaLlahu 'alaihi wasallam redha".


Ketahuilah bahawa ibubapa dan nenek moyang Nabi sallaLlahu 'alaihi wasallam jika sebahagian mereka jatuh dalam sesuatu yang secara zahir merupakan kesyirikan, maka mereka bukanlah orang-orang yang musyrik. Mereka bersikap demikian sebab mereka tidak mendapatkan adanya Rasul yang diutus kepada mereka. Golongan Ahlu Sunnah Waljamaah seluruhnya meyakini siapa yang terjatuh ke dalam kemusyrikan, sedangkan dia berada di dalam masa penggantian syariat-syariat Tauhid dalam rentang masa kosong (fatrah) di antara satu Nabi dengan Nabi selanjutnya, maka dia tidak diseksa.

Dalil-dalil yang menunjukkan hal itu cukup banyak, antara lain berdasarkan Firman Allah subahanahu wa ta'ala :


وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبۡعَثَ رَسُولاً۬ (١٥)

Ertinya : Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutuskan seorang Rasul
(Surah al Isra' ayat 15)


ذَٲلِكَ أَن لَّمۡ يَكُن رَّبُّكَ مُهۡلِكَ ٱلۡقُرَىٰ بِظُلۡمٍ۬ وَأَهۡلُهَا غَـٰفِلُونَ (١٣١)

Ertinya : Yang demikian itu adalah kerana Tuhanmu tidaklah membinasakan kota-kota secara aniaya, sedang penduduknya dalam keadaan yang lengah (maksudnya : penduduk suatu kota tidak akan diazab sebelum diutuskan seorang Rasul yang akan memberikan peringatan kepada mereka.)
(Surah al An'am ayat 131)

وَمَآ أَهۡلَكۡنَا مِن قَرۡيَةٍ إِلَّا لَهَا مُنذِرُونَ (٢٠٨)

Ertinya : Dan Kami tidak membinasakan suatu negeripun, melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberikan peringatan.
(Surah Asy Syu'ara ayat 208)

رُّسُلاً۬ مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى ٱللَّهِ حُجَّةُۢ بَعۡدَ ٱلرُّسُلِ‌ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمً۬ا (١٦٥)

Ertinya : Mereka, (Kami utuskan) selaku Rasul-rasul, pembawa berita gembira, dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah subahanahu wa Ta'ala, sesudah diutuskan Rasul-rasul itu.
(Surah an Nisa' ayat 165)

Maka tidak berdiri tegak hujah (bagi Allah subahanahu wa ta'ala) terhadap makhluk kecuali dengan mengutus Rasul-rasul, maka manusia tidak berada dalam hujah dengan rahmat Allah subahanahu wa Ta'ala dan kurniaNya.

Ayat-ayat ini menunjukkan apa yang diyakini oleh para pengikut yang benar (golongan Ahlu Sunnah Wal Jama'ah), bahawa Allah subahanahu wa Ta'ala dengan rahmat dan kurniaNya tidak menyeksa seorang pun sampai Dia mengutus seorang Rasul yang memberi peringatan kepadanya.

Mungkin sahaja ada orang yang mengatakan. "Barangkali kedua ibu bapa Nabi sallaLlahu 'alaihi wasallam telah diutus Rasul pemberi peringatan kepada mereka dan mereka berdua syirik setelah sampainya hujah." Ini merupakan sesuatu yang telah menyeleweng daripada ajaran. Sebaliknya ada nas-nas yang menafikannya dan menegaskan sebaliknya. Allah subahanahu wa Ta'ala berfirman :


وَمَآ ءَاتَيۡنَـٰهُم مِّن كُتُبٍ۬ يَدۡرُسُونَہَاۖ وَمَآ أَرۡسَلۡنَآ إِلَيۡہِمۡ قَبۡلَكَ مِن نَّذِيرٍ۬ (٤٤)

Ertinya : Dan, Kami tidak pernah memberikan kepada mereka, kitab-kitab yang mereka baca dan sekali-kali tidak pernah (pula) mengutuskan mereka sebelum kamu seorang pemberi peringatan.
(Surah Saba' ayat 44)

Pada ayat lain, Allah subahanahu wa Ta'ala berfirman :

لِتُنذِرَ قَوۡمً۬ا مَّآ أَتَٮٰهُم مِّن نَّذِيرٍ۬ مِّن قَبۡلِكَ لَعَلَّهُمۡ يَتَذَڪَّرُونَ (٤٦)

Ertinya : ...Supaya kamu memberikan peringatan kepada kaum (Quraisy) yang sekali-kali belum datang kepada mereka, pemberi peringatan sebelum kamu agar mereka ingat
(Surah al Qasash ayat 46)

Pada ayat lain, Allah subahanahu wa Ta'ala berfirman :


وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهۡلِكَ ٱلۡقُرَىٰ حَتَّىٰ يَبۡعَثَ فِىٓ أُمِّهَا رَسُولاً۬ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَـٰتِنَا‌ۚ وَمَا ڪُنَّا مُهۡلِكِى ٱلۡقُرَىٰٓ إِلَّا وَأَهۡلُهَا ظَـٰلِمُونَ (٥٩)

Ertinya : Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutuskan kepada ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman.
(Surah al Qasas ayat 59)

Nas (dalil-dalil) yang telah dikemukakan itu menunjukkan serta membuktikan mengenai kedua ibubapa Nabi sallaLlahu 'alaihi wasallam tidak diseksa bukan sebab mereka berdua IbuBapa Nabi sallaLlahu 'alaihi wasallam, tetapi sebab mereka termasuk dalam kalangan orang-orang yang hidup pada masa fatrah (kosong di antara para Rasul-rasul). Oleh itu, hukum mengenai mereka sudah jelas di kalangan kaum Muslimin.

Imam Syatibi berkata,
"Telah berlaku ketetangan Allah subahanahu wa Ta'ala (sunnatuLlah) pada makhlukNya bahawa Dia tidak menyeksakan hambaNya disebabkan pelanggaran hukum, kecuali setelah (Dia) mengutuskan kepada mereka seorang Rasul. Lalu apabila hujah sudah berdiri teguh atas mereka; siapa yang memilih beriman, maka ia beriman; dan siapa yang memilih kafir, maka dia kafir. Bagi setiap pilihan ada balasan setimpal.
(Imam Syatibi, Al Muwafaqat, vol 3, hlm 377)

Dalam menafsirkan firman Allah subahanahu wa Ta'ala,
"Dan Kami, tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul (Surah al Isra' ayat 15)
, Al Qasimi berkata,
"Tidak benar dan bukan keputusan yang betul daripada Kami. malah mustahil di dalam sunnah Kami yang berdasarkan hukum yang tegas bahawa Kami menyeksa suatu kaum, kecuali setelah Kami utuskan seorang Rasul bagi menunjukkan kepada mereka kebenaran dan memperingatkan mereka daripada kesesatan, menegakkan hujah yang benar dan mematahkan hujah bagi alasan yang membantah.
(Al Qasimi, Mahasin At Ta'wil, vol 10, hlm 312)

Imam Ibnu Taimiyyah berkata, :
Sesungguhnya Al Quran dan Sunnah telah menunjukkan bahawa Allah subahanahu Wa Ta'ala tidak menyeksa seseorang, kecuali setelah menyampaikan risalah kepadanya. Oleh itu, siapa yang tidak menyampaikan risalah kepadanya secara global (menyeluruh) tanpa sebahagian perincian (penjelasan), Allah subahanahu Wa Ta'ala tidak akan menyeksanya kecuali atas pengingkaran yang dilakukan.
(Ibnu Taimiyyah, Majmu' al Fatawa, vol 13, hlm 493)

Adapun dalil yang menunjukkan keselamatan kedua ibubapa Nabi sallaLlahu 'alaihi wasallam secara khusus pada mereka berdua, bukan dalil umum yang khusus berkenaan dengan ahlu fatrah (orang-orang tua yang hidup pada masa fatrah), adalah firman Allah subahanahu wa Ta'ala :

وَتَقَلُّبَكَ فِى ٱلسَّـٰجِدِينَ (٢١٩)

Ertinya : Dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.
(Asy Syu'ara ayat 219)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radiyaLlahu 'anhu berkenaan dengan firman Allah subahanahu wa Ta'ala,
"Dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud
(As Syu'ara ayat 219). Beliau berkata,
iaitu di antara tulang-tulang sulbi nenek moyang Nabi Adam 'alaihissalam, Nabi Nuh 'alaihissalam dan Nabi Ibrahim 'alaihissalam sampai Allah subahanahu wa Ta'ala mengutuskan Baginda sallaLLahu 'alaihi wasallam sebagai seorang Nabi
(Al Qurthubi, Tafsir al Qurthubi, vol 13, hlm 144, dan Ath Thobari, Tafsir ath Thobari, vol 7, hlm 287)

Diriwayatkan dari Watsilah bin Asqa' bahawa Nabi sallaLLahu 'alaihi wasallam bersabda :

"Sesungguhnya Allah subahanahu wa Ta'ala memilih Nabi Ismail 'alaihissalam dan anak-anak Nabi Ibrahim 'alaihissalam, memilih Bani Kinanah; dan anak cucu Nabi Ismail 'alahissalam, memilih Quiraisy dari Bani Kinanah; memilih Bani Hasyim dari Quraisy; dan memilih diriku dari Bani Hasyim"
(Hadith Riwayat Ahmad, Musnad Ahmad, vol 4, hlm 107; dan Muslim, Sohih Muslim, vol 4, hlm 1782, dan teks hadith adalah riwayat Ahmad).

Daripada Bapa saudara Baginda sallaLlahu 'alaihi wasallam, saidina Abbas radiyaLlahu 'anhu diriwayatkan bahawa Nabi Muhammad sallaLlahu 'alaihi wasallam bersabda :

"Sesungguhnya Allah subahanhu wa Ta'ala menciptakan makhluk, lalu Dia menjadikanku yang terbaik di antara mereka dan dari generasi terbaik mereka. Kemudian Allah subahanahu wa Ta'ala memilih kabilah-kabilah, lalu menjadikan diriku dari kabilah terbaik. Kemudian Dia memilih keluarga-keluarga, lalu menjadikan diriku dari keluarga terbaik. Maka, aku adalah (makhluk) terbaik peribadinya dan terbaik keluarganya.
(Riwayat Ahmad, Musnad Ahmad, vol 4, hlm 165; dan Turmudzi, sunan Turmudzi, vol 5, hlm 584)

Maka, jelas bahawa RasuluLlah sallaLlahu 'alaihi wasallam menyebut, asal-usul keturunannya dengan sifat baik dan suci. Itu adalah dua sifat yang berlawanan dengan sifat kekafiran dan kesyirikan. Allah subahanahu wa Ta'ala telah berfirman dengan menyebutkan sifat kaum Musyrikin :


إِنَّمَا ٱلۡمُشۡرِكُونَ نَجَسٌ۬

Ertinya : Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis (jiwa musyrikin itu dianggap kotor, sebab menyekutukan Allah subahanahu wa Ta'ala)
(At Taubah ayat 28)

Sumber : Prof Dr Ali Jum’ah, Penjelasan Terhadap Masalah-masalah KhilafiahAl Bayan – Al Qawin li Tashbih Ba’dhi al Mafahim, .2008, Penerbitan Dar Hakamah, Selangor