CARIAN ILMU DI JOMFAHAM :

Khamis, 12 Februari 2015

PEMALSUAN KITAB AL IBANAH SUSUNAN IMAM ABU HASAN AL ASY'ARI

Oleh : Ustaz Ashfi Raihan
Bismillah Ar-rahmaan Ar-rahiim.

إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرإ ما نوى

HR: al-Bukhari, Muslim, Abû Dâwûd, al-Nasâ’î dan Ibn Mâjah

قال أبو إسحاق رحمه الله، كنت في جنب الشيخ أبي الحسن الباهلي كقطرة في البحر، وسمعت الشيخ أبا الحسن الباهلي قال، كنت أنا في جنب الشيخ الأشعري كقطرة في جنب البحر

Al-Ustâdz Abû Ishâq al-Isfarâyînî berkata, “Berada di samping al-Syeikh Abû al-Hasan al-Bâhilî, aku terasa bagaikan setetes embun di lautan” . Sementara aku dengar al-Syeikh Abû al-Hasan al-Bâhilî berkata, “di samping al-Syeikh Abû al-Hasan al-Asy‘arî, aku terasa bagaikan tetesan embun di pinggir lautan” . -Tabyîn Kidzb al-Muftarî, hal.141-

لو لم يصنف عمره غير الإبانة واللمع لكفى

Sekiranya semasa hidupanya al-Asy‘arî hanya menulis kitab al-Ibânah dan al-Luma‘, itu sudah memadai. -Tabyîn Kidzb al-Muftarî, hal.134-

Dâr al-Anshâr Mesir edisi Doktor Fawqiyyah Husein Mahmûd (al-Ibânah dengan cetakan sama yang terdapat di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan edisi Syeikh Zâhid al-Kautsarî, seorang ulama pada masa Khilâfah ‘Utsmâniyyah).
Dâr al-Anshâr Mesir edisi Doktor Fawqiyyah Husein Mahmûd (al-Ibânah dengan cetakan sama yang terdapat di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan edisi Syeikh Zâhid al-Kautsarî, seorang ulama pada masa Khilâfah ‘Utsmâniyyah).
Maktabah al-Mu’ayyad Saudi Arabia bekerja sama dengan Maktabah Dâr al-Bayân Suriah edisi Basyîr Muhammad ‘Uyûn.
Maktabah al-Mu’ayyad Saudi Arabia bekerja sama dengan Maktabah Dâr al-Bayân Suriah edisi Basyîr Muhammad ‘Uyûn.
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah Lebanon edisi ‘Abdullâh Mahmûd Muhammad ‘Umar.
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah Lebanon edisi ‘Abdullâh Mahmûd Muhammad ‘Umar.

Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah

Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah. Itulah nama lengkap dari salah satu karya Mishbâh al-Tawhîd Abû al-Hasan al-‘Asy‘arî (260-324H), seorang Mujaddid peralihan abad ke-3 sampai ke-4 Hijriyah. Al-Ibânah adalah salah satu karyanya dengan metode Tafwîdh dan membuktikan bahwa ia telah melepaskan diri dari ideologi sekte Mu‘tazilah kepada ajaran Salaf al-Shâlih yang dinilai steril mengikuti ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah. Istilah “Salaf al-Shâlih” telah memberi pukauan kuat terhadap banyak kalangan terutama bagi pemerhati sejarah al-Asy‘ariyyah dan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah, sehingga masing-masing mereka merasa sebagai pengikut Salaf al-Shâlih. Tak ayal, kandungan al-Ibânah yang dinilai mengikuti Salaf al-Shâlih pun menjadi rebutan beberapa kalangan.
Kalangan al-Asy‘ariyyah menganggap bahwa merekalah yang berhak terhadap al-Ibânah lantaran al-Asy‘ariyyah adalah penisbatan kepada al-Asy‘arî sang penulis kitab, dan beberapa alasan lain. Begitu pun kalangan yang mengaku sebagai pengikut Salaf al-Shâlih menganggap bahwa merekalah yang berhak terhadap al-Ibânah meski keberatan disebut sebagai al-Asy‘ariyyah, lantaran mereka menilai bahwa al-Asy‘ariyyah adalah sekte bid‘ah dan sesat menyesatkan sehingga berimbas kepada pen-drop out-an terhadap cendikiawan muslim yang dikenal sebagai al-Huffâzh, bahwa mereka bukan pengikut Salaf al-Shâlih meski tidak secara mutlak. Seperti al-Khathîb al-Baghdâdî, al-Bayhaqî, al-Nawawî, al-‘Asqalânî dan al-Suyûthî yang dikenal sebagai pemuka al-Asy‘ariyyah, Radhiyallâhu ‘Anhum.

Jika al-Asy‘ariyyah mengaku sebagai pengikut Abû al-Hasan al-Asy‘arî, hal ini tentunya sangat wajar. Sebagaimana al-Hanafiyyah adalah pengikut Abû Hanifah, al-Mâlikiyyah sebagai pengikut Mâlik, al-Syâfi‘iyyah sebagai pengikut al-Syâfi‘î, al-Hanâbilah sebagai pengikut Ibn Hanbal, Radhiyallâhu ‘Anhum. Namun akan terasa janggal jika pengakuan itu muncul dari kalangan yang mengaku sebagai pengikut Salaf al-Shâlih namun pada sisi lain mereka mencerca kalangan al-Asy‘ariyyah. Bahkan al-Asy‘ariyyah dianggap telah keluar dari paham al-Asy‘arî. Dan tentunya ini sah-sah saja karena mereka pun boleh berpendapat. Dan yang menjadi barometer bagi kalangan ini untuk mengatakan bahwa al-Asy‘ariyyah sebenarnya tidak mengikuti al-Asy‘arî adalah isu-isu yang beredar bahwa al-Ibânah merupakan bukti peralihan al-Asy‘arî dari paham -yang konon katanya- Kullâbiyyah kepada Salaf al-Shâlih. Menurut mereka al-Asy‘arî dalam al-Ibânahnya mengakui Allah subhânahû wa ta‘âlâ menetap, menempati, bersemayam atau duduk di atas ‘arasy, sekaligus mereka beranggapan bahwa al-Asy‘ariyyah sebetulnya mengikuti paham Kullâbiyyah, bukan al-Asy‘arî. Lalu, ada apa dengan al-Ibânah sehingga kalangan ini begitu yakin akan isu-isu yang beredar sehingga menjadi pegangan bagi mereka untuk memisahkan al-Asy‘ariyyah dengan al-Asy‘arî? Dan siapakah Kullâbiyyah yang mereka anggap sebagai panutan al-Asy‘ariyyah dan dinilai sebagai sekte bid‘ah?

Three in One (3 in 1); Tiga al-Ibânah, Satu al-Asy‘arî

Proyek pengelabuan umat yang dilakukan beberapa kalangan sentak menggelitik telinga para santri tradisional tanah air yang notabene mereka mempelajari kitab-kitab karya para ulama al-Asy‘ariyyah seperti al-Jawâhir al-Kalâmiyyah, al-Aqwâl al-Mardhiyyah, Kifâyah al-‘Awwâm, Fath al-Majîd (bukan kitab Wahhâbî), Ummu al-Barâhîn, al-Dasûqî, Nazhm Jawhar al-Tawhîd, dan lain sebagainya. Isu-isu yang mereka angkat adalah bahwa para santri dan masyarakat yang mengaku sebagai pengikut al-Asy‘arî yang disebut dengan al-Asy‘ariyyah telah menyalahi al-Asy‘arî sendiri, terbukti bahwa al-Asy‘arî dengan kitab al-Ibânahnya dan beberapa kitab lain berbeda akidah dengan orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya atau al-Asy‘ariyyah. Al-Asy‘arî mengakui keberadaan Allah subhânahû wa ta‘âlâ bertempat di atas ‘Arasy sementara al-Asy‘ariyyah tidak. Tentunya hal ini bertolak belakang antara al-Asy‘arî dengan pemahaman penggikutnya. Begitulah diantara argumen mereka untuk merusak keharmonisan antara al-Asy‘arî dan al-Asy‘ariyyah. Sebuah usaha yang amat buruk dan tercela. Namun apa benar seperti itu? Kita akan mencoba membandingkan, al-Ibânah manakah kira-kira yang menjadi landasan bagi sementara kalangan yang mengatakan bahwa al-Asy‘arî meyakini Allah subhânahû wa ta‘âlâ bertempat (hulûl), bersemayam, menetap. Berikut scannan tiga versi al-Ibânah karya al-Asy‘arî;
  1. Dâr al-Anshâr Mesir edisi Doktor Fawqiyyah Husein Mahmûd (al-Ibânah dengan cetakan sama yang terdapat di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan edisi Syeikh Zâhid al-Kautsarî, seorang ulama pada masa Khilâfah ‘Utsmâniyyah).
  2. Maktabah al-Mu’ayyad Saudi Arabia bekerja sama dengan Maktabah Dâr al-Bayân Suriah edisi Basyîr Muhammad ‘Uyûn.
  3. Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah Lebanon edisi ‘Abdullâh Mahmûd Muhammad ‘Umar.
Dar Anshar
Dar Anshar
Maktabah Mu'ayyad
Maktabah Mu'ayyad
Dar Kutub
Dar Kutub
-Kalimat bergaris biru pada cetakan Dâr al-Anshâr hal.105 dan Maktabah al-Mu’ayyad/ Maktabah Dâr al-Bayân hal.97;

استواءً يليق به من غير طول الاستقرار

tidak terdapat pada cetakan Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah hal.46. Sehingga kalangan yang disebut oleh para ulama sebagai Antropomorphisme (Musyabbihah) akan memahami dengan artian bahasa yaitu bersemayam, duduk, menetap, dengan kata lain yaitu menempati ‘Arasy.
Dar Anshar
Dar Anshar
Maktabah Mu'ayyad
Maktabah Mu'ayyad
Dar Kutub
Dar Kutub
* Kalimat bergaris biru pada cetakan Dâr al-Anshâr hal.113 dan Maktabah al-Mu’ayyad/ Maktabah Dâr al-Bayân hal.100;

استواءً منزها عن الحلول والاتحاد

tidak terdapat pada cetakan Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, hal.48. Sehingga kalangan yang disebut oleh para ulama sebagai Antropomorphisme (Musyabbihah) akan memahami dengan artian bahasa yaitu bersemayam, duduk, menetap, dengan kata lain semua pemahaman ini adalah Hulûl. Bahkan jika hadis Nuzûl dipahami secara lahirnya yaitu Allah subhânahû wa ta‘âlâ turun ke langit dunia, turun dari atas ke bawah dan berpindah, maka pemahaman ini akan melahirkan Ittihâd sekaligus Hulûl lantaran langit ada tujuh lapis, dan Allah subhânahû wa ta‘âlâ turun ke langit dunia atau langit pertama sehingga langit ke dua sampai ke enam bahkan ‘Arasy akan berada di atas Allah subhânahû wa ta‘âlâ, na‘ûdzu billâh.
Jika konsep “Bi Lâ Kayf” telah tertanam dalam keyakinan kita, maka segala karakter turunnya makhluk yaitu pergerakan dari atas ke bawah dan berpindah pasti ternafi dari Allah subhânahû wa ta‘âlâ karena segala bentuk perpindahan adalah sebuah “Kayf”. Maka, kata “nuzûl, istiwâ’” lebih layak kita katakan Nuzûl-Nya Allah subhânahû wa ta‘âlâ adalah Nuzûl yang layak bagi keagungan dan kemulian-Nya tanpa berpindah, tanpa Kayf. Begitu pun dengan Istiwâ’, Allah Yang Maha beristiwâ’, tidak dapat dikatakan “bagaimana” (sebuah kalimat istifhâm untuk menanyakan metode, tata cara, visualisasi), karena bagaimana mungkin kita akan menanyakan “bagaimana” padahal segala bentuk metode, tatacara, visualisasi (Kayfiyyât) semuanya ternafi dari Allah subhânahû wa ta‘âlâ.

الرحمن على العرش استوى، كما وصف نفسه، ولا يقال له كيف، وكيف عنه مرفوع

Begitu ungkapan shahîh dari Imam Malik dan dinukil oleh al-Baihaqî dan Ibn Hajar. Lihat al-Asmâ’ wa al-Shifât, Dâr al-Hadîts, 1426H, hal.411 dan Fath al-Bârî, Dâr al-Hadîts, 1424H, vol.13,hal.461.
Dar Anshar
Dar Anshar
Maktabah Mu'ayyad
Maktabah Mu'ayyad
Dar Kutub
Dar Kutub
* Kalimat bergaris biru pada cetakan Dâr al-Anshâr hal.117 dan Maktabah al-Mu’ayyad/ Maktabah Dâr al-Bayân hal.102; بلا كيف ولا استقرار tidak terdapat pada cetakan Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah hal.49. Tentunya kita mengetahui arti penting dari ungkapan yang lenyap tersebut. Sehingga dengan adanya ungkapan itu akan memberi penjelasan bahwa sifat Istiwâ’ Allah subhânahû wa ta‘âlâ tidak dapat diartikan dengan pemahaman bahasa kita seperti menetap, bersemayam, bertempat. Lalu mengapa al-Qur’an tidak mencantumkan lafazh itu? Jawabannya adalah karena salah satunya Allah subhânahû wa ta‘âlâ ingin menguji hamba-hamba-Nya agar diketahui siapa saja orang-orang yang di dalam hatinya terdapat Zaigh (kekeliruan). Oleh karena itu ungkapan “Bi Lâ Kayf” sangat berperan dalam membentengi umat muslim dari pemahaman ala Antropomophisme. Dan di sisi lain, dengan mengimani keberadaan sifat-sifat yang Allah subhânahû wa ta‘âlâ tetapkan pada Zat-Nya begitupun yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam akan menjadi sanggahan bagi sekte Jahmiyyah, Mu‘tazilah dan yang sepaham dengan mereka dari kalangan Mu‘aththilah.
Ini hanyalah sekelumit dari kitab al-Ibânah khususnya bab Istiwâ’. Dan tidak menutup kemungkinan jika kita terus membandingkan antara beberapa cetakan akan tampak penambahan ataupun pengurangan. Namun yang terpenting adalah manakala kita membaca karya al-Asy‘arî seperti al-Ibânah, perlu kiranya pembanding dan pendamping bacaan tersebut seperti karya-karya ulama yang bersanad kepada al-Asy‘arî seperti al-Inshâf karya al-Baqillânî, Musykil al-Hadîts wa Bayânuh karya Ibn Fawrak, al-Jâmi‘ fî Ushûl al-Dîn karya Abû Ishâq al-Isfarâyînî, Ushûl al-Dîn karya ‘Abd al-Qâhir al-Baghdâdî, al-Tabshîr fî al-Dîn wa Tamyîz al-Firqah al-Nâjiyah ‘an al-Firaq al-Hâlikîn karya Abû al-Muzhaffar al-Isfarâyînî, al-Asmâ’ wa al-Shifât karya al-Baihaqî, al-‘Aqîdah al-Nizhâmiyyah fî al-Arkân al-Islâmiyyah karya Imam al-Haramain al-Juwainî, al-Iqtishâd fî al-I‘tiqâd karya al-Ghazâlî, dan masih banyak lagi karena terkadang seorang ulama menulis beberapa karya dalam satu tema akidah.
Di samping al-Ibânah, al-Asy‘arî juga mempunyai karya di antaranya al-Luma‘ fî al-Radd ‘Alâ Ahl al-Zaigh wa al-Bida‘, Kasyf al-Asrâr wa Hatk al-Astâr. Bersama kitab-kitab inilah al-Asy‘arî mengumumkan peralihannya dari Mu‘tazilah ke Ahl al-Sunnah. Pada saat itu kitab-kitab ini dibaca dan ditelaah oleh ahli hadis dan fiqih dari kalangan Ahl al-Sunnah, lalu mereka mengamalkan kandungannya. Sehingga mereka mengakui kelebihan al-Asy‘arî dan menjadikannya sebagai al-Imâm, lalu mereka menisbatkan mazhab mereka kepada al-Asy‘arî, sehingga bernamalah al-Asy‘ariyyah. Lihat Tabyîn Kidzb al-Muftarî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah li al-Turâts, cet.1, 1420H, hal.43.
Nah, jikalau benar al-Asy‘arî melalui dua fase peralihan dalam keyakinannya, yaitu dari Mu‘tazilah ke Salaf al-Shâlih (dan ternyata -konon kata mereka- Kullâbiyyah), kemudian dari Kullâbiyyah ke Salaf al-Shâlih yang sebenarnya, tentunya al-Asy‘arî juga mengumumkan peralihannya itu sebagaimana yang ia lakukan saat beralih dari Mu‘tazilah mengingat ini adalah hal yang sangat penting bagi diri al-Asy‘arî dan masyarakatnya karena ia pernah menjadi seorang al-Imâm bagi kalangan Mu‘tazilah dan akhirnya menjadi al-Imâm bagi kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah. Betapa beraninya Mishbâh al-Tawhîd ini mengumumkan keluarnya ia dari paham Mu‘tazilah di tengah kekuasaan Mu‘tazilah. Tentunya akan sangat ringan dan mudah jika ia melakukan hal yang sama jika benar ia keluar dari Kullâbiyyah mengingat Kullâbiyyah bukan sekte, juga bukan pemerintahan.
Sejenak kita perhatikan lagi, adakah kalangan yang lebih baik dari ahli hadis dan fiqh yang kesaksian mereka dapat dipercaya? Merekalah yang menyaksikan al-Asy‘arî menanggalkan jubah Mu‘tazilahnya. Merekalah yang menyaksikan akan kebenaran paham yang didengungkan oleh al-Asy‘arî. Mereka pulalah yang menelaah karya al-Asy‘arî sehingga menjadikannya sebagai al-Imâm untukk mazhab mereka. Jikalau paham yang dibawa oleh al-Asy‘arî setelah beralih dari Mu‘tazilah masih terdapat percampuran antara yang hak dengan yang batil, tentunya ahli hadis dan fiqh itulah yang berada di garis terdepan untuk menangkal kebatilan itu. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, mereka membenarkan paham yang didengungkan oleh al-Asy‘arî karena yang ditawarkan olehnya adalah akidah Salaf al-Shâlih. Ingat, mereka adalah ahli hadis dan fiqh. Atau barangkali “di sana” ada kriteria ahli hadis oleh kalangan yang mengaku pengikut Salaf al-Shâlih yang lebih baik dari kriteria yang diterapkan oleh al-Hâfizh Ibn ‘Asâkir?

Mereka Bertutur Tentang al-Ibânah dan Ibn Kullâb

1. Al-Hâfizh Ibn ‘Asâkir;
Ibn ‘Asâkir berkata, “Aku pernah membaca tulisan ‘Alî ibn al-Warrâq seorang ahli hadis daerah Mesir. Tulisan itu berisikan risalah yang ditulis oleh Abû Muhammad ‘Abdullah ibn Abî Zaid al-Qairuwânî seorang ahli fikih madzhab maliki. Ia adalah seorang pemuka ahli fikih maliki pada masanya dari daerah Maghrib (Maroko sekarang-pen). Risalah itu ditujukan kepada ‘Alî ibn Ahmad ibn Ismâ‘îl seorang mu‘tazilah dari Baghdad sebagai jawaban terhadap risalah yang ia (‘Alî ibn Ahmad-pen) kirimkan kepada kalangan malikiyyah Qairuwân karena ia telah menyisipkan paham-paham mu‘tazilah. Risalah yang begitu dikenal itu sangat panjang. Dan sebagian jawaban yang dituliskan oleh Ibn Abî Zaid terhadap ‘Alî ibn Ahmad adalah sebagai berikut, Anda telah menisbatkan Ibn Kullâb kepada bid‘ah, sementara anda tidak menyebutkan bukti yang dengannya dapat diketahui bahwa Ibn Kullâb memang ahli bid‘ah. Dan sama sekali kami tidak mengetahui adanya orang yang menisbatkan Ibn Kullâb kepada bid‘ah (kecuali ‘Alî ibn Ahmad-pen). Namun informasi yang kami terima, Ibn Kullâb adalah pengikut sunnah (Ahl al-Sunnah-pen) dan ia banyak membantah kalangan Jahmiyyah dan ahli bid‘ah lainnya. Ia adalah ‘Abdullah ibn Sa‘îd ibn Kullâb (al-Qaththân, w.240H-pen)”. Lihat Tabyîn Kidzb al-Muftarî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah li al-Turâts, cet.1, 1420H, hal.298-299.
2. Al-Hâfizh al-Dzahabî;
Al-Dzahabî berkata, Ibn Kullâb adalah seorang pemuka teolog daerah Basrah pada masanya. Kemudian lanjut al-Dzahabî sembari menukil, Ia adalah teolog yang paling dekat kepada Ahl al-Sunnah, bahkan ia adalah juru debat mereka (terhadap Mu‘tazilah-pen). Ia mempunyai karya di antaranya, al-Shifât, Khalq al-Af‘âl dan al-Radd ‘alâ al-Mu‘tazilah. Lihat Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, cet.1, 1424H, vol.7, hal.453.
Al-Dzahabî juga menuturkan, Suatu ketika al-Asy‘arî mendatangi Abû Muhammad al-Barbahârî di Baghdad, lalu ia berkata, “Aku telah membantah al-Jubbâ’î (ayah tirinya-pen), aku telah membantah kaum Majûsi dan Nasrani” . Al-barbahârî malah mengatakan, “Aku tidak paham apa yang anda ucapkan, kami (al-Barbahârî dan kalangan Hanâbilah-pen) tidak mengerti melainkan apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad”. Lalu al-Asy‘arî pergi dan menuliskan al-Ibânah, namun pada akhirnya al-Barbahârî tetap saja tidak menerimanya. Lihat Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, cet.1, 1424H, vol.9, hal.372.
3. Al-Hâfizh Ibn Hajar;
Ibn Hajar berkata, Sesungguhnya al-Bukhârî dalam segala hal yang berkaitan dengan teks-teks gharîb (asing-pen), ia menukil dari pakarnya seperti Abû ‘Ubaidah, al-Nadhr ibn Syumail, al-Farrâ’ dan lain-lain. Adapun perkara-perkara fikih, sebagian besar ia sandarkan kepada al-Syâfi‘î, Abû ‘Ubaid dan yang seperti keduanya. Dan adapun perkara-perkara kalâm (teologi-pen), maka sebagian besar ia ambil dari al-Karâbîsî, Ibn Kullâb, dan yang seperti keduanya. Lihat Fath al-Bârî, Dâr al-Hadîts, 1424H, vol.1, hal.293.
Ibn Hajar juga menuturkan sembari menukil, Ibn Kullâb menggunakan metode Salaf al-Shâlih dalam hal meninggalkan takwîl terhadap ayat-ayat dan hadis-hadis yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah. Mereka (Salaf al-Shâlih-pen) disebut sebagai al-Mufawwidhah. Kemudian lanjut Ibn Hajar, Dalam menuliskan al-Ibânah, al-Asy‘arî menggunakan metode Ibn Kullâb. Lihat Lisân al-Mîzân, Dâr al-Fikr, cet.1, 1408H, vol.3, hal.361.

Al-Nuqath al-Muhimmah (Poin-poin penting)

  1. Al-Asy‘arî, ia adalah Abû al-Hasan ‘Alî ibn Ismâ‘îl ibn Abî Bisyr Ishâq ibn Sâlim ibn Ismâ‘îl ibn ‘Abdillah ibn Mûsâ ibn Amîr al-Bashrah Bilâl ibn Abî Burdah ibn Abî Mûsâ ‘Abdillah ibn Qais ibn Hadhdhâr al-Asy‘arî al-Yamânî al-Bashrî, Mishbâh al-Tawhîd.
  2. Semenjak ibunya menikah dengan al-Jubbâ’î, ia digembleng oleh al-Jubbâ’î sehingga ia menjadi pemuka Mu‘tazilah. Dan pada tahun 300H ia beralih kepada metode Salaf al-Shâlih dan mengumumkannya di masjid Bashrah di hadapan para ahli hadis dan fikih.
  3. Adapun isu-isu yang mengatakan bahwa ia bertaubat dari akidah bid‘ah sebanyak dua kali adalah tidak benar. Karena prosesi pengumuman yang dilakukannya di masjid Bashrah di hadapan ahli hadis dan fikih adalah yang pertama dan terakhir.
  4. Sekiranya setelah ia bertaubat dari paham mu‘tazilah masih membawa paham-paham menyimpang tentunya ahli hadis dan fikih yang menyaksikan itu berada pada garis terdepan dalam menangkal pemikiran menyimpang itu.
  5. Kitab al-Luma‘ fî al-Radd ‘Alâ Ahl al-Zaigh wa al-Bida‘, Kasyf al-Asrâr wa Hatk al-Astâr dan beberapa kitab lainnya telah ditelaah oleh ahli hadis dan fikih pada saat itu sehingga mereka menerimanya meskipun al-Ibânah belum ditulis oleh al-Asy‘arî.
  6. Al-Asy‘arî, Ibn Kullâb, al-Karâbîsî dan sebelumnya yaitu al-Bukhârî dan Muslim mempunyai pandangan yang sama dalam masalah akidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah. Hal ini tampak ketika mereka berbicara tentang konsep Af‘âl al-‘Ibâd.
  7. Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, adalah salah satu karya al-Asy‘arî yang mengikuti metode salaf yaitu tafwîdh. Isi dan kandungannya mengikuti metode Ibn Kullâb terutama dalam menyanggah Jahmiyyah dan Mu‘tazilah.
  8. Boleh dikata; al-Asy‘arî, kitab al-Ibânah, Ibn Kullâb dan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah bagaikan empat sisi pada segi empat yang saling melengkapi karena semuanya mengikuti al-Qur’ân, al-Sunnah dan Salaf al-Shâlih.
  9. Untuk mengenal al-Asy‘ariyyah, rujukan utama adalah karya-karya para ulama yang mempunyai silsilah keguruan kepada al-Asy‘arî seperti al-Khaththâbî (w.319), Ibn al-Mujâhid (w.370H), al-Baqillânî (w.403H), al-Lâlikâ’î (w.418), al-Baihaqî (w.458H), dll.
  10. Al-Zabîdî berkata, “Jika disebutkan tentang Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah (setelah masa salaf) maka yang dimaksud adalah kalangan al-Asyâ‘irah dan al-Mâturîdiyyah” . Lihat Ithâf al-Sâdât al-Muttaqîn, Dâr al-Fikr, vol.2, hal.6.

Daftar Pustaka

  1. Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Dâr al-Anshâr, Mesir, cet.1, 1379H.
  2. Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Maktabah al-Mu’ayyid, Saudi Arabia, dan Maktabah Dâr al-Bayân, Suriah, cet.3, 1411H.
  3. Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Lebanon, cet.2, 1426H.
  4. Al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, Dâr al-Hadîts, Mesir, 1424H.
  5. Al-‘Asqalânî , Lisân al-Mîzân, Dâr al-Fikr, Lebanon, cet.1, 1408H.
  6. Al-Baihaqî, al-Asmâ’ wa al-Shifât, Dâr al-Hadîts, Mesir, 1426H.
  7. Al-Dimasyqî, Tabyîn Kidzb al-Muftarî fî Mâ Nusiba ilâ Abî al-Hasan al-Asy‘arî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah li al-Turâts, Mesir, cet.1, 1420H.
  8. Al-Dzahabî, Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, Mesir, cet.1, 1424H.
  9. Al-Zabîdî, Ithâf al-Sâdât al-Muttaqîn fî Syarh Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Dâr al-Fikr, Lebanon, t.t.

Tiada ulasan: