Mi’raj Rasul Tidak Menunjukkan Allah Ta’ala di Langit
Sebagian pihak yang berkeyakinan bathil bahwa Allah berada di langit berpedoman kepada hadits yang menjelaskan mi’raj Rasulullah Shallallahu Alahai Wasallam. Bagaimana para ulama menjelaskan masalah itu?
Sebelum masuk ke pembahasan ini, perlu diketahui juga bahwa mereka yang berkeyakinan bahwa Allah Ta’ala berada di langit didasari oleh keyakinan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam di saat mi’raj menyaksikan dzat Allah dengan mata. Jika demikian, dasar yang dijadikan pijakan sudah rapuh sejak awal, karena para ulama bahkan sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sudah berbeda pendapat dalam masalah ini. Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu yang berpandangan bahwa Rasulullah Shallallallahu Alaihi Wasallam menyaksikan secara kasat mata, sedangkan sahabat lainnya seperti Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu dan Aisyah Radhiyallahu Anha menolak padangan itu, hingga beliau menyampaikan,”Barang siapa mengira bahwa Muhammad menyaksikan Rabb-Nya maka ia telah berbohong.” Sedangkan sejumlah muhaqiqin memilih tawaquf dalam masalah ini. (lihat, Nur Ad Dzalam, hal. 66-67)
Rapuh karena menyandarkan sebuah kayakinan dari perkara yang diperselisihkan, bahkan oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Jika seaindanya pihak yang berpandangan bahwa Allah bertempat di langit masih memaksakan diri dengan pendapat bahwa Rasulullah Shallallahu Alalihi Wasalam menyaksikan Allah dengan mata, hak itu juga tidak mampu “menolong” kayakinannya karena para ulama menjelaskan bahwa penglihatan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adalah penglihatan yang pantas bagi kebesaran Allah Ta’ala. (lihat, Nur Ad Dzalam, hal. 66)
Sedangkan penilaian bahwa Allah berada di sebuah tempat adalah pandangan yang tidak pantas bagi kebesaran Allah Ta’ala dimana hal itu termasuk penyerupaan terhadap benda yang terikat dengan tempat. Sebab itulah para ulama yang mengambil pendapat bahwa Rasulullah Shallallahu Alalihi Wasallam menyaksikan Allah menjelaskan. Al Allamah Ahmad Al Marzuki Al Makki Al Maliki telah menyampaikan dalam nadzam akidah beliau yang cukup terkenal yakni Aqidah Al Awwam:
Artinya: Dan setelah (Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam) isra’ naik ke langit. Hingga melihat Rabb berfirman. Tanpa kaif dan tanpa terlingkupi dan diwajibkan. Bagi beliau (Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam) 5 setelah 50 kewajiban (shalat). (lihat, Aqidah Al Awwam dan Syarhnya Nur Adz Dzalam, hal. 63)
Pernyataan bahwa Allah berada di langit sama dengan menyatakan bahwa Allah terlingkupi oleh langit. Allah Ta’ala tidak mungkin terlingkupi oleh makhluk-Nya termasuk langit atau yang lain karena melingkupi adalah pembatasan. Bagaimana Allah bisa terbatasi oleh makhluk? Dan hal itu juga merupakan penyerupaan dzat Allah dengan benda yang selalu terikat dengan tempat.
Mungkin saja pihak yang berkeyakinan bahwa Allah Ta’ala berada di langit berargumen bahwa mereka juga bisa memperoleh pijakan dari peristiwa dimana Allah memerintahkan wajibnya shalat langsung kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, bahwa Allah berada di langit maski Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tidak menyaksikan dzat Allah.
Dalam hal ini, Al Allamah Nawawi Al Bantani Sayyid Ulama Hijaz telah menjelaskan masalah ini. Beliau menyampaikan,”Sayyiduna Rasulullah juga telah mendengar kalam Allah yang qadim pada malam isra’. Dan Allah tidak berada dalam satu tempat atau arah namun tempat bagi yang menyimak.” (Nur Ad Dzalam, hal. 17)
Demikian munajat Rasulullah Shallallahu Alalihi Wasallam di Sidratul Muntaha tidak melazimkan bahwa Allah berada di tempat itu. Syeikh Umar Abdullah Kamil salah satu ulama Al Azhar menjelaskan bahwa munajat itu tidak terikat dengan tempat. Maka munajat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam di Sidratul Muntaha sama dengan munajat Musa Alaihissalam di bukit Thur yang juga sama dengan munajat Yunus Alaihissalam di perut ikan khut. (lihat, Syarh Arkan Al Iman li Al Ummah Al Islam min Aqidati Al Awwam, hal. 29)
Walhasil peristiwa mi’raj Rasulullah tidak menunjukkan bahwa Allah berada di langit, namun menunjukkan bahwa Rasulullah bermunajat di Sidratul Muntaha dan hal itu tidak berkonsekwensi Allah berada di tempat yang sama, sebagaimana munajat Musa Alaihissalam di bukit Thur juga tidak berkonsekwensi bahwa Allah berada di bukit tersebut, demikian juga munajat Yunus Alaihissalam di perut ikan khut tidak berkonsekwensi Allah berada di tempat itu.
Demikianlah penjelasan para ulama dalam masalah ini. Semoga kita terhindar dari keyakinan yang mengakibatkan penyerupaan dzat Allah dan sifat-Nya terhadap makhluk.
Rujukan:
1. Nur Ad Dzalam Syarh Mandzumah Aqidah Al Awwam oleh Al Allamah Sayyid Ulama Hijaz Nawawi Al Bantani, cet. 1 (1429 H), Dar Al Kutub Al Islamiyah, Jakarta.
2. Syarh Arkan Al Iman li Al Ummah Al Islam min Aqidati Al Awwam, dipublikasikan oleh okamel.com, situs resmi Syeikh Umar Abdullah Kamil.