Mujahadah Para Salaf dan Ulama di Bulan Ramadhan
Oleh : Ustaz Thoriq
Benarlah sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) tentang keunggulan generasi salaf: “Sebaik-baik zaman adalah di zamanku (sahabat), kemudian orang sesudah mereka (tabi’in) dan kemudian orang sesudah mereka (atba’ tabi’in).”
(Riwayat Bukhari).
Mujahadah salaf selama bulan Ramadhan membuktikan kebenaran sabda Rasulullah di atas. Khususnya dalam melakukan amalan shalat dan membaca Al Qur`an, mujahadah mereka amat susah untuk ditandingi oleh umat Islam generasi terakhir. Bahkan bisa jadi mereka menilai bahwa amalan itu mustahil dilakukan!
Dalam beberapa literatur Islam, seperti Hilyah Al Auliya karya Al Hafidz Abu Nu’aim dan Thabaqat Al Qura`n, karya Imam Ad Dzahabi, mujahadah para salaf, khususnya para tabi’in, terakam dengan baik. Bahkan dalam Al Hilyah, periwayatan itu disertai dengan sanad lengkap.
Nah, bagaimana sebenarnya mujahadah mereka selama bulan Ramadhan? Serta seperti apa persiapan mereka dalam menyambut bulan itu? Tulisan kali ini akan mengupas bagamana para salaf dan ulama bermujahadah di bulan mulia itu.
Salaf Khatamkan Al Qur`an dalam Dua Rakaat!
Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al Qur`an. Bahkan Imam Al Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya, bahwa di tiap tahunnya Jibril Alaihissalam membacakan Al Qur`an kepada Rasulullah SAW, dan itu dilakukan di tiap-tiap malam selama Ramadhan.
Oleh sebab itu, dengan berpedoman dengan hadits ini, Al Hafidz Ibnu Hajar berpendapat bahwa terus-menerus membaca Al Qur`an di bulan Ramadhan akan menambah kemuliaan bulan itu. (Fath Al Bari,9/52).
Rasulullah SAW juga bersabda: “Barang siapa melakukan qiyam Ramadhan dengan didasari keimanan dan keikhlasan, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Riwayat Al Bukhari).
Karena itulah, para salaf dan ulama amat memperhatikan amalan tilawah, qiyam Ramadhan, serta pengkajian keilmuan, sehingga mereka siap bermujahadah dalam melakukan amalan-amalan itu.
Adalah Aswad bin Yazid An Nakha’i Al Kufi. Disebutkan dalam Hilyah Al Auliya (2/224) bahwa beliau
mengkhatamkan Al Qur`an dalam bulan Ramadhan setiap dua hari, dan beliau tidur hanya di waktu antara maghrib dan isya, sedangkan di luar Ramadhan beliau menghatamkan Al Qur`an dalam waktu 6 hari.
Tidak hanya bermujahadah dalam menghatamkan Al Qur`an, dalam ibadah shalat, Imam Adz Dzahabi menyebutkan bahwa
tabi’in ini melakukan shalat 6 ratus rakaat dalam sehari semalam. (Al Ibar wa Al Idhadh, 1/86).
Adapula Qatadah bin Diamah, dalam hari-hari “biasa”, tabi’in ini mengkhatamkan Al Qur`an sekali tiap bulan, akan tetapi tatkala Ramadhan tiba beliau mengkhatamkan Al Qur`an sekali dalam tiga hari, dan apabila datang sepuluh hari terakhir beliau mengkhatamkannya sekali dalam semalam .(Al Hilyah, 2/228).
Tabi’in lain, Abu Al Abbas Atha’ juga termasuk mereka yang “luar biasa” dalam tilawah. Di hari-hari biasa ia mengkhatamkan Al Qur`an sekali dalam sehari. Tapi di bulan Ramadhan, Abu Al Abbas mempu menghatamkan 3 kali dalam sehari. (Al Hilyah 10/302).
Sedangkan Said bin Jubair, dalam Mir’ah Al Jinan, Al Yafi’i menyebutkan sebuah riwayat, bahwa di suatu saat tabi’in ini membaca Al Qur`an di Al Haram, lalu beliau berkata kepada Wiqa’ bin Abi Iyas pada bulan Ramadhan: “Pegangkan Mushaf ini”, dan ia tidak pernah beranjak dari tempat duduknya itu, kecuali setelah mengkhatamkan Al Qur`an.
Diriwayatkan juga dari Said bin Jubair, beliau pernah mengatakan: “Jika sudah masuk sepuluh hari terakhir, aku melakukan mujahadah yang hampir tidak mampu aku lakukan.”
Beliau juga menasihati: “Di malam sepuluh terakhir, jangan kalian matikan lentera.” Maksudnya, agar umat Islam menghidupkan malamnya dengan membaca Al Qur`an.
Thabaqat Fuqaha Madzhab An Nu’man Al Mukhtar, yang dinukil oleh Imam Laknawi dalam Iqamah Al Hujjah (71,72) disebutkan periwayatan bahawa dalam bulan Ramadhan Said bin Jubair mengimami shalat dengan dua qira`at, yakni qira`at Ibnu Mas’ud dan Zaid bin Tsabit.
Manshur bin Zadan, termasuk tabi’in yang terakam amalannya di bulan diturunnya Al Qur`an ini. Hisham bin Hassan bercerita, bahwa di bulan Ramadhan, Manshur mampu mengkhatamkan Al Qur`an di antara shalat Maghrib dan Isya’, hal itu bisa beliau lakukan dengan cara mengakhirkan shalat Isya hingga seperempat malam berlalu. Dalam hari-hari biasapun beliau mampu mengkhatamkan Al Qur`an sekali dalam sahari semalam. (Al Hilyah, 3/57).
Tidak ketinggalan pula Imam Mujahid, salah satu tabi’in yang pernah berguru langsung dengan Ibnu Abbas juga amat mashyur dengan mujahadahnya. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dengan sanad yang shahih, bahwa tabi’in ahli tafsir ini juga menghatamkan Al Qur`an pada bulan Ramadhan di antara maghrib dan isyak.
Sebahagian besar ulama berpendapat bahwa Abu Hanifah termasuk pada golongan tabi`in, karena telah bertemu dengan sahabat Anas bin Malik. Banyak riwayat yang menegaskan bahawa beliau adalah ulama yang ahli ibadah. Yahya bin Ayub, ahli zuhud yang semasa dengan beliau mengatakan: Tidak ada seorangpun yang datang ke Makkah, pada zaman ini lebih banyak shalatnya dibanding dengan Abu Hanifah.
Karena itu beliau dijuluki Al Watad (tiang) karena banyak shalat (Tahdzib Al Asma, 2/220). Lalu, bagaimana amalan ulama ahli ibadah ini dalam bulan Ramadhan?
Orang yang melakukan shalat fajar dengan wudhu isya selama 40 tahun ini menghatamkan Al Qur`an 2 kali dalam sehari di bulan Ramadhan, pada waktu siang sekali, dan pada waktu malam sekali (Manaqib Imam Abu Hanifah, 1/241-242).
Bahkan disebutkan oleh Imam Al Kardari bahwa Abu Hanifah termasuk 4 imam yang bisa menghatamkan Al Qur`an dalam 2 rakaat, mereka adalah Utsman bin Affan, Tamim Ad Dari, Said bin Jubair, serta Abu Hanifah sendiri.
Persiapan Para Salaf Menghadapi Ramadhan
Jika di Bulan Ramadhan para salaf mampu melakukan amalan-amalan “berat”. Bagaimana persiapan mereka sebelum memasuki bulan suci ini? Ternyata para salaf sudah melakukan persiapan yang cukup maksimal. Ini bisa dilihat dari mujahadah mereka sebelum Ramadhan.
Habib bin Abi Tsabit mengatakan: “Bulan Sya’ban adalah bulan qura` (para pembaca Al Qur`an)”. Sehingga pada bulan itu, para salaf konsentrasi terhadap Al Qur`an. Salah satu diantara mereka adalah Amru bin Qais, ahli ibadah yang wafat tahun 41 Hijriyah ini, ketika Sya’ban tiba, ia menutup tokonya dan tidak ada aktivitas yang ia lakukan selain membaca Al Qur`an.
Bulan Ramadhan di pandangan para salaf adalah bulan mulia yang amat dinanti-nanti, sehingga mereka mempersiapkan jauh-jauh untuk menyambut “tamu idaman” ini, yakni dua bulan sebelum bulan suci datang. Sudahkah mempersiapkannya sebagaimana para salaf bersiap-siap?
Ramadhan Para Ulama
Diungkap dengan gamblang di tulisan sebelumnya, gambaran mujahadah Ramadhan para salaf, khususnya para tabi’in. Lalu bagaimana dengan generasi sesudahnya?
Ternyata masih ada juga dari kalangan ulama yang meneruskan “tradisi baik” ini.
Sebagai contah, Imam Syafi’i (204 H), beliau dalam bulan Ramadhan biasa mengkhatamkan Al Qur’an dua kali dalam semalam, dan itu dikerjakan di dalam shalat, sehingga dalam bulan Ramadhan beliau menghatamkan Al Qur`an enam puluh kali dalam sebulan (Tahdzib Al Asma’ wa Al Lughat, 1/ 45)
Al Qazwini (590 H), seorang ulama madzhab Syafi’i yang masuk golongan mereka yang bermujahadah dalam bulan Ramadhan, akan tetapi aktiviti beliau agak berbeza dengan amalan-amalan para ulama lain. Setelah shalat tarawih, beliau membuka majlis tafsir yang dihadiri banyak orang. Beliau menafsirkan surat demi surat semalam suntuk, hingga datang waktu shubuh. Kemudian beliau melakukan shalat shubuh bersama para jama’ah dengan wudhu isya’. Sekan tidak memiliki rasa lelah, setelah itu beliau mengajar di madrasah Nidhamiyah sebagaimana biasanya. (Thabaqat As Syafi’iah Al Kubra, 6/10).
Ali Khitab bin Muqallad (629 H), seorang ulama Bagdad yang hidup di masa khalifah Al Muntashir, dalam Ramadhan mampu mengkhatamkan Al Qur’an 90 kali, dan di hari biasa beliau mengkhatamkan sekali dalam sehari. (Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 8/294).
Adapun untuk mempersiapkan Ramadhan, kita bisa belajar dari Taqi Ad Din As Subki (756 H). Beliau memiliki kebiasaan dikala datang bulan Rajab, yakni tidak pernah keluar dari rumah kecuali untuk melakukan shalat wajib(fardhu), dan hal itu terus berjalan hingga Ramadhan tiba. (Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 10/168).
Ini ditempuh supaya beliau lebih bisa konstrasi(khusyuk) beribadah, sehingga ketika Ramadhan telah tiba, fizikal dan batin sudah memiliki kesiapan untuk melakukan dan meningkatkan mujahadah dalam beribadah.
Selain itu, adapula Khatib As Syarbini (977 H), ulama Mesir penulis Mughni Al Muhtaj, juga memiliki cara tersendiri agar bisa konsentrasi(khusyuk) melakukan ibadah ketika Ramadhan tiba. Yakni, tatkala terlihat hilal Ramadhan, beliau bergegas dengan perbekalan yang cukup untuk ber’itikaf di masjid Al Azhar, dan tidak pulang, kecuali setelah selesai menunaikan shalat ied. (lihat, biografi singkat As Syarbini dalam Mughni Al Muhtaj, 1/5)
Bukan hal yang mustahil
Dan informasi amalan salaf itu sulit untuk ditolak, karena periwatan tentang kabar mujahadah para salaf juga menyertakan sanad yang semua perawinya tsiqah, bahkan hingga kini sebagian tradisi itu masih tetap hidup di beberapa wilayah.
Di India pada abad 13 H atau kebiasaan shalat tarawih dengan mengkhatamkan 30 juz dalam semalam masih dilestarikan. Hal itu diketahui dari fatwa Imam Laknawi, ulama madzhab Hanafi dari India yang wafat 1304 H, mengenai bolehnya menghatamkan Al Qur`an 30 juz dalam semalam di waktu tarawih, guna merespon pertanyaan-pertanyaan mengenai kebiasaan umat Islam mengkhatamkan Al Qur`an dalam tarawih di zaman itu. (Iqamat Al Hujjah, 154)
Bahkan hingga kini di Mesir, khususnya di wilayah Hay (distrik) As Syafi’i Kairo, para huffadz Al Qur`an berkumpul untuk melaksanakan shalat tarawih di masjid Ibad Ar Rahman, yang dimulai setelah Isya’ dan baru selesai ketika tiba waktu sahur, karena sang imam mengkhatamkan Al Qur`an hingga 30 juz, dengan bacaan yang agak cepat, tanpa mengabaikan tajwid dan makharij al huruf (tempat-tempat keluarnya huruf). Tentu, amat berat untuk bisa mengikuti shalat tarawih hingga selesai di masjid ini, kecuali bagi mereka yang punya azam tinggi dan telah hafal Al Qur`an 30 juz.
Bertentangan dengan Perbuatan Rasulullah?
Mungkin ada yang bertanya-tanya, apakah perbuatan para ulama dan salaf, seperti menghatamkan Al Qur`an dalam sehari lebih dari sekali, meninggalkan tidur untuk qiyam lail, serta mujahadah lain tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan Aisyah Radhiyallahu ‘anha? Yang berbunyi: “Aku tidak mengetahui Nabi Allah membaca Al Qur’an hingga pagi.” (Riwayat Ibnu Majah).
Begitu pula hadits dari Abdullah bin Amru, dimana Rasulullah bersabda: “Tidakkah aku dikabari bahwa engkau menghabiskan malam untuk shalat dan berpuasa di siang hari?” Aku menjawab, “benar.” Beliau mengatakan,”Sesungguhnya jika engkau melakukan hal itu matamu akan rusak dan hatimu akan lemah. Karena badanmu dan keluargamu memiliki hak, berpuasalah dan berbukalah, shalatlah dan tidurlah” .(Riwayat Al Bukhari).
Imam Laknawi menjelaskan bahwa nabi tidak melakukan amalan-amalan yang berat, karena takut memberatkan umatnya. Sebagaimana diterangkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha: ”Jika Rasulullah meninggalkan sebuah amalan yang beliau sukai, itu dikarenakan beliau takut jika manusia mengamalkannya, dan hal itu menjadi fardhu bagi mereka.” (Riwayat Al Bukhari).
Adapun mengenai hadist Abdullah bin Amru, Rasulullah SAW mengetahui keadaan Abdullah, jika ia melakukannya maka justru akan membuatnya bosan dalam beribadah dan lalai terhadap kewajiban yang lain. Oleh karena itulah Rasulullah SAW menasehatinya.
Kesimpulannya, amalan memperbanyak ibadah tetap dibolehkan, selama tidak melalaikan kewajiban lain. Karena dalam hadits riwayat Al Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah Saw. melakukan shalat malam hingga kaki beliau bengkak. Di kesempatan lain beliau juga memerintahkan kepada beberapa sahabat agar malakukan amalan sesuai dengan kemampuan. Tentu, kemampuan masing-masing pribadi berbeda-beda. Dan Rasulullah SAW juga memerintahkan kita untuk mengikuti para sahabat beliau. Dan banyak sahabat beliau yang melakukan mujahadah dalam Ibadah, dan itu tidak diingkari oleh sahabat lain.
Ramadhan di Yaman: Khatamkan Shahih Al Bukhari
Yaman, walau terletak di wilayah yang “kurang strategik”, seperti Hijaz, yang selalu dikunjungi umat Islam dari seluruh negeri untuk haji dan ziarah serta tanahnya yang tandus, sehingga jarang disinggahi pedagang, tetapi Yaman memiliki “nuansa” tersendiri bagi para penuntut ilmu. Al Hafidz Ibnu Hajar Al Atsqalani adalah salah satu dari mereka yang tertarik , hingga beliau mengunjungi negeri ini untuk menimba ilmu.
Itu disebabkan karena di Yaman banyak terdapat ulama, dan memiliki tradisi keilmuan yang cukup kental, sehingga memberi kontribusi (sumbangan) besar lahirnya para ulama fiqh dan hadits. Imam Al Umrani (558 H), penulis Al Bayan, Al Quraidhi Al Lahji (576 H), penulis Al Mustashfa, As Shan’ani (1182 H) penulis Subul Al Salam, Imam As Syaukani (1250 H), penulis Nail Al Authar, atau Abdurrahman Al Ahdal Al Yamani (1258 H) penulis Hasyiyah Syarh Al Madhal, semuanya termasuk deretan ulama negeri itu, yang tidak diragukan kapasitasnya, baik dalam fiqih maupun hadits. Maka benarlah sabda Rasulullah Saw.:”Iman dari orang Yaman, Fiqih dari orang Yaman, Hikmah Yaman.” (Riwayat Al Bukhari)
Hal ini tidaklah mengherankan, karena, baik ulama maupun awam mereka memiliki perhatian terhadap ilmu, terutama Sunnah, apalagi terhadap Shahih Al Bukhari. Mereka semangat mengkaji, berlomba-lomba menghafal dan memperoleh sanad. Sehingga aktivitas menyimak Shahih Al Bukhari “menghidupkan” masjid-masjid, madrasah-madrasah, dan rumah-rumah penduduk.
Shahih Al Bukhari diprioritaskan, karena diakui oleh para ulama bahwa kitab ini memiliki derajat lebih tinggi dibanding kitab hadits lain.
Pada tahap selanjutnya, menyebarlah “tradisi positif” di berbagai wilayah Yaman, yakni dengan menjamurnya halaqah Shahih Al Bukhari di bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan.
Imam Al Ahdal menjelaskan beberapa alasan, kenapa dipilih Rajab sebagai waktu permulaan halaqah. Karena bulan itu sudah mendekati Ramadhan, yang mana di dalamnya syariat puasa, zakat, qiyam lail digalakkan, sehingga umat Islam lebih memahami amalan-amalan itu. Apalagi setelah itu diikuti amalan haji yang menyangkut manasik dan safar. (Al Mustashfa,15)
Disamping itu, dengan adanya halaqah ini, maka mereka sudah terbudaya dengan aktiviti positif, yakni thalabul ilmi(menuntut ilmu) , sehingga setelah memasuki bulan Ramadhan, waktu tetap terisi dengan amalan mulia.
Membaca Shahih Al Bukhari yang dilakukan untuk menyambut Ramadhan ini mulai muncul di awal masa pemerintah Bani Rasul pada tahun 625 H. Dimana penguasa itu memiliki perhatian besar terhadap keilmuan, khususnya hadits dan memulyakan para ulamanya.
Al Hazraji pernah merekam aktiviti ini pada tahun 881 H, dimana di awal bulan Rajab, para fuqaha berkumpul di daerah Zabid, Yaman. Lalu mereka bersama-sama menuju Ibnu Yaqub As Syairazi agar ia bersedia membacakan Shahih Al Bukhari. Di kota yang mendapat julukan madinah ilmi itu para ulama yang hadir untuk menyimak Shahih Al Bukhari mencapai 800 orang. (Al ‘Uqud Al Lu’lu’iyah, 2/249,250).
Selain di Zabid, di kota Al Marawa’ah juga terdapat halaqah Shahih Al Bukhari yang telah dirintis oleh Al Ahdal Ali bin Umar (607 H), dan hingga kini “tradisi” itu juga masih hidup, khususnya halaqah yang dimulai bulan Rajab.
Kota Bait Faqih pun tidak ketinggalan, halaqah Shahih Al Bukhari di wilayah itu dirintis oleh keluarga Alu Jam’an, yang dikenal sebagai keluarga yang amat mencintai ilmu, periwayatan hadits dan fatwa.
Sedangkan di kota Adn, halaqah kitab yang dinilai paling shahih setelah Al Qur’an itu lebih mudah ditemui, karena terdapat di lebih dari satu tempat. Yakni di masjid Syeikh Abdullah Al Amudi (697 H), masjid Husain Sidiq Al Ahdal (903 H), masjid Al Atsqalani yang dinisbatkan kepada Hafidz Ibnu Hajar Al Atsqalani yang pernah tinggal di kota ini selama 6 bulan. Di masjid itu Syeikh Al Muhadits Al Bijani (1391 H) juga mengajarkan Shahih Al Bukhari, sehingga saat ini masjid itu dikenal dengan masjid Al Bijani. Di kota Abyat Husain juga masih terdapat halaqah ini.
Halaqah Shahih Al Bukhari seperti jamur di musim hujan, beberapa kota seperti Zaidiyah, Dhuha, Al Hadidah, dan Ta’z juga masih hidup. Halaqah itu juga biasa dijumpai di komuniti Hadrami.
Oleh karena itu, banyak Muslim Yaman yang memiliki sanad yang menyambung hingga Imam Al Bukhari, dan sanad itu masih terus tersambung sampai zaman ini, yang merupakan lanjutan dari rantai periwayatan para ulama dan hufadz ternama di setiap zaman.
Sesuai dengan perkataan para salaf ,”Bulan Rajab untuk menanam, Sya’ban untuk menyiram dan Ramadhan untuk menyemai”. Rupanya, umat Islam Yaman tidak hanya menyemai pahala amalan pada bulan itu, karena banyak pula ilmu yang berhasil mereka “reguk” selama tiga bulan. Sehingga ilmu dan amal selalu beriringan.
Sumber : https://almanar.wordpress.com/2008/12/17/mujahadah-para-salaf-dan-ulama-di-bulan-ramadhan/