Halaman

Rabu, 26 Mei 2010

Kedudukan Hadits Talqin Setelah Dikubur

















Oleh : Thoriq

Soalan :

Bagaimana kedudukan hadits yang biasa dijadikan argumen untuk mengamalkan talqin terhadap mayat yang telah dikubur?

Jawapan :

Kita lihat bagaimana para ulama dan huffadz berpendapat.

Diriwayatkan Imam Ad Daraquthni dalam Al Mu’jam:
Dari Abu Umamah, beliau mengatakan, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,”Jika salah satu dari kalian telah meninggal, hingga kalian meratakan tanah di atasnya, maka hendaknya salah satu dari kalian berdiri di dekat kepalanya, kemudian mengatakan, ‘Wahai fulan bin fulanah,’ sesungguhnya ia mendengar akan tetapi tidak menjawab. Lalu hendaklah mengatakan,’Wahai fulan-bin fulanah,’ untuk kedua kalinya. Maka sesungguhnya ia duduk, kemudian hendalah mengatakan, ‘Wahai fulan bin fulanah’. Maka ia mengatakan, ‘Berilah nasehat kepada kami, semoga engkau mendapat rahmat Allah.’ Akan tetapi kalian tidak mendengar. Hendaklah ia mengatakan,’Sebutkan bahwa engkau keluar dari dunia berada di atas syahadat, bahwa tiada ilah kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, dan sesungguhnya engkau telah ridha dengan Allah sebagai Rabb, Islam sebagai dien, Muhammad sebagai nabi, serta Al Qur’an sebagai imam. Sesungguhnya Munkar dan Nakir terlambat dan salah satunya mengatakan,’Kita pergi dari sini, kita tidak duduk di sini, dan ia telah ditalqin hujjahnya, dan hujjahnya berhadapan dengan Allah dan Rasul-Nya bukan dengan keduanya (Munkar dan Nakir).’ Lalu seorang laki-laki bertanya,’Wahai Rasulullah, jika ia tidak tahu ibunya?’ Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menjawab, ‘Dinisbatkan kepada ibunya Hawa, wahai fulan bin Hawa.


Komentar para ulama mengenai kedudukan hadits ini:

Al Hafidz Ibnu Shalah

Sebagaimana dinukil Imam An Nawawi:
“Telah kami riwayatkan mengenai hal itu (talqin mayat setelah dikubur) hadits Abu Umamah, yang tidak tegak sanadnya (dhoif). Akan tetapi ia dikuatkan dengan syawahid dan amalan penduduk Syam sejak dahulu.”
(Al Adzkar, 279).

Imam An Nawawi:
“Dan hadits tentangnya (talqin setelah dikubur) dhaif, akan tetapi hadits-hadits fadhail ditoleransi oleh para ahli ilmu dari muhaditsin dan lainnya. Dan hadits ini dikuatkan dengan syawahid dari hadits-hadits yang shahih semisal,”berdoalah kelain kepada Allah untuk keteguhannya,’ dan washiyat Amru bin Ash, “Berdirilah kalian di atas kuburku selama waktu menyembelih kambing dan membagi-bagikan dagingnya, hingga aku merasa tenang dengan keberadaan kalian, dan aku mengetahui, apa yang bisa membuat utusan Allah (Munkar-Nakir) pergi.’ Yang diriwayatkan Muslim dalam shahihnya. Dan ahlu Syam sudah mengamalkan talqin ini sejak masa awal.”
(Ar Raudha At Thalibin, 2/139)

Ibnu Qayyim Al Jauziyah
“Hadits ini, walau tidak tsabit (dhaif), akan tetapi terus berkesinambungan pengamalan dengannya di seluruh penjuru dan masa tanpa ada pengingkaran, cukup untuk dijadikan dasar amalan.”
(Ar Ruh, 14)

Walhasil, hadits ini sejatinya dhaif, tapi terangkat derajatnya dengan dijadikannya sebagai pijakan ahlul ilmi dan umat sebagai rujukan. Ini tidak bertentangan dengan kaidah yang ditetapkan ulama.

Al Hafidz As Shahawi mengatakan,
“Dan demikian pula jika umat menerima hadits dhaif, maka ia boleh diamalkan menurut pendapat shahih.”
(Fath Al Mughits bi Syarh Alfiyah Al Hadits, 120-121).

Al Kamal bin Al Humam saat mengkritik mereka yang mendhaifkan hadits yang maknanya,
”Talaq untuk budak dua talak dan iddahnya dua haidh,” mengatakan,” Yang juga membuat hadits menjadi shahih adalah pengamalan ulama yang sesuai dengannya. Dan At Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits ini juga mengatakan,’Hadits gharib (dhaif) dan para ahli ilmu mengamalkannya, termasuk para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan lainnya.’”
(Fath Al Qadir, 3/143).

Hal yang sama disebutkan Hafidz As Suyuthi,
”Sebagian dari mereka (huffadz) mengatakan, ‘Hadits dihukumi shahih, jika manusia menerimanya, walau isnadnya tidak shahih.”
(At Tadrib Ar Rawi, 24).

Adalah Hafidz At Tirmidzi, yang sering mengungkapkan dalam kitab Al Jami’ beliau, bahwa hadits yang beliau riwayatkan dhaif, akan tetapi diamalkan oleh ahli ilmu.

Walhasil, penguatan hadits talqin di atas telah sesuai dengan kaidah. Tentu, tidak semua orang bisa menggunakan kaidah ini secara sembarangan, karena hanya ahlinya lah yang mengetahu kapan hadits dhaif benar-benar diterima umat Islam, hingga ia boleh diamalkan. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.

Sumber rujukan:

Al Adzkar min Kalam Sayid Al Abrar. (Dar Al Minhaj, Jeddah, cet I, 2005)

Raudhah At Thalibin. (Al Maktab Al Islami, 1991)

Tuhfah Ar Mardhiya fi Hilli Ba’dhi Al Musyqilat Al Haditsiyah, yang disertakan dalam lembaran terakhir kitab Al Ajwibah Al Fadhilah li Al As’ilah AL Ashrah Al Kamilah, Imam Al Laknawi. (Dar As Salam, Kairo, cet. III, 1994)


Bacaan Tambahan :

Tiada ulasan:

Catat Ulasan